How To Be 'Dewasa'

37.8K 3.4K 23
                                    

Gue kerja dengan pikiran kalut. Gue nggak tenang. Kenapa sih bisa-bisanya gue bilang ke Mas Sabi kalo gue akan keluar dari rumahnya setelah dia ngasih gue waktu selama 3 hari?

Nggak usah mikirin setelah 3 hari gue akan tinggal dimana, yang jadi permasalahannya adalah..... gue aja masih nggak tau malam ini gue harus tidur dimana.

Gue udah pernah bilang kalo gue nggak punya sanak saudara, kerabat, apalagi sahabat di Jakarta. Ya satu-satunya relasi gue cuma Mas Sabi karena saat ini Bu Murni udah nggak ada.

Temen kerja di butik? Oke lah. Gue deket sama Kak Kevin. Dia satu-satunya temen kerja gue di butik--- selain gue---, yang nge-kost di Jakarta. Tapi nggak mungkin 'kan gue nginep ditempatnya Kak Kevin? Nggak, nggak. Nggak mungkin. Nggak mungkin banget gue nginep di tempat cowok yang ada didepan gue sekarang.

Yup. Gue natap Kak Kevin yang sekarang lagi duduk didepan gue sambil melongo. Saat ini gue dan Kak Kevin lagi di pantry. Kalo ada kesempatan, kami memang selalu makan bareng pas istirahat kerja. "Udah tau butik ini banyak setan, kesurupan loh Beb nanti."

Gue senyum. Ngambil gorengan di atas piring yang tadi di beli Aldut. Gue nggak bawa bekal makan. Nggak. Sebenernya gue memang lagi nggak nafsu makan. Lagi-lagi gue kepikiran, setelah pulang kerja, gue harus tidur dimana?

Di hotel? Uang gue nggak sebanyak itu untuk tidur di hotel selama berhari-hari. Gila aja. Bisa-bisa gue jatuh miskin disaat gue nggak pernah ngerasain jadi orang kaya.

"Tadi aku nanya kenapa nggak dijawab?"

"Nanya apa?"

"Hari ini kamu nggak foto?"

"Nanti deh, tunggu agak sedikit sore. Bantuin ya, Kak?"

"Asiap."

Jadwal kerja gue yang bener-bener kerja itu cuma senin, rabu, jumat, dan sabtu. Jadwal kerja yang dalam tanda kutip 'tercatat' di kontrak kerja gue selama lima tahun belakangan ini. Maksudnya begini, hari senin itu adalah tugas gue untuk ngerombak display dilantai satu, lantai khusus pakaian wanita. Hari rabu untuk display lantai dua, lantai khusus pakaian pria. Dan hari jumat untuk luxury ground, lantai tiga. Lalu yang terakhir adalah hari sabtu, dimana di hari itu gue bertugas untuk ngambil foto semua hasil display gue, kemudian ngedit, setelah itu gue susun foto itu dalam bentuk pdf, lalu yang terakhir, gue kirim hasil kerjaan gue itu ke emailnya Mba Indah.

Selain empat hari yang gue sebutin diatas, gue nggak ada kerjaan. Makanya gue bilang, gue sering bantuin sales associate untuk jualan. Karena ya itu, gue memang nggak ada kerjaan selain hari senin, rabu, dan jumat. Kalo sabtu kayak sekarang, gue masih bisa santai. Foto mah bisa nanti-nanti. Karena gue memang harus report hasil foto ke Mba Indah di hari senin. Jadi, gampang lah. Bisa besok.

Soal ngebantuin sales associate untuk jualan itu sebetulnya nggak tercatat di kontrak kerja gue. Baik di kontrak kerja yang lama maupun kontrak kerja yang baru. Semua itu gue lakuin bukan untuk cari perhatian atasan. Tapi gue memang bener-bener nggak ada kerjaan aja makanya gue ngelakuin hal itu. Plus, sebagai bentuk solidaritas gue juga sih.

Oke, next.

Selesai istirahat, gue langsung ngambil beberapa foto di lantai tiga, dibantu Kak Kevin. Setelah beres di lantai tiga, gue menuju ke ruang loker. Duduk sambil main hape. Lantai dua dan lantai satu mungkin besok atau nunggu sedikit gelap. Soalnya masih ada pelanggan, gue males muncul karena lagi nggak mood untuk bantuin sales associate buat jualan.

Gue iseng nyari hotel disekitar sini untuk gue tidur nanti malam. Yang pastinya, gue nyari harga yang paling murah. Gue bener-bener butuh tempat untuk tidur malam ini. Soal besok gampang, gue bisa pikirin lagi nanti.

"Beb?"

Gue menengadah. Ka Kevin udah selesai ganti baju dan lagi ngebalikin seragamnya ke loker.

"Aku ajak ngobrol dari tadi diem aja. Kamu lagi galau? Mikirin apa sih?"

Gue geleng-geleng kepala. Gue nggak mungkin bilang ke Kak Kevin kalo gue butuh tempat tinggal untuk malam ini, karena pasti.... gue yakin banget kalo Kak Kevin akan ngajak gue untuk ke tempatnya.

"Bohong. Aku tau kamu lagi banyak pikiran. Tadi ngambil foto juga nggak semangat kayak biasanya. Kenapa sih?" Kak Kevin duduk disamping gue. Saat ini gue duduk di lantai. Tanpa alas, tanpa tatakan, cuma lantai.

"Kenapa?" Tanya Kak Kevin lagi. Gue masih berusaha nahan diri untuk nggak cerita.

"Kamu masih sedih karena Ibu Kost kamu meninggal?"

"Mantan kamu ngehubungin kamu?" Gue ketawa denger pertanyaan yang satu ini.

"Atau, kamu ada masalah sama Mama mu di Bali?"

Gue geleng-geleng kepala.

"Terus apa? Kamu ribut sama anaknya Ibu Kost kamu? Mas Abi... Siapa tuh namanya?"

"Mas Sabi." Koreksi gue.

"Jadi bener, kamu ribut sama dia?"

"Nggak, Kak."

"Terus?"

"Dia minta aku keluar dari rumahnya." Yauda lah. Akhirnya gue cerita juga. Gue emang paling nggak bisa ditekan apa lagi di paksa. Pasti bawaannya bocor aja. "Dia bilang nggak enak sama tetangga kalo aku sama dia tinggal di satu rumah yang sama. Takut jadi fitnah."

"Yauda, tinggal di tempat aku aja. Aku nggak punya tetangga. Nggak usah sedih."

Tuh kan. Apa gue bilang.

Gue masih tetep geleng-geleng kepala. "Nggak usah, Kak. Makasih."

"Kamu nggak percaya sama aku?"

"Bukan begitu, Kak."

"Kamu tau aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, Beb. Kamu bukan tipe ku." Kak Kevin ketawa. "Kamu mau aku tungguin sampe waktu shift kamu selesai atau kamu nyusul ke tempat aku aja selesai kerja?"

"Nyusul aja, Kak."

"Oke. Aku kirim detail lokasinya di WA ya!" Kak Kevin bangkit dari duduknya dan ngeloyor pergi. Sebelum pergi, dia ngomong. "Udah. Nggak usah dipikirin terus, Beby. Tidur ditempat aku malam ini. Jangan galau. Nanti kita sama-sama cari jalan keluarnya."

Meskipun gue udah tau nanti malam gue akan tidur dimana, tapi tetep aja perasaan gue masih kalut. Entah karena gue nggak pernah kebayang tidur ditempat cowok, atau karena gue masih belum rela keluar dari rumahnya Mas Sabi. Asli, gue nggak ngerti kenapa perasaan gue gelisah banget.

Gue inget banget, dulu, waktu kecil gue pingin banget cepet jadi orang dewasa. Tapi, untuk saat-saat kayak gini gue pingin banget kembali jadi anak kecil lagi, dimana hal-hal yang gue lakuin cuma santai dan main tanpa tau kerasnya dunia. Bukannya malah pusing karena nggak tau harus menetap dimana, putus cinta, dan sepanjang waktu selalu kerja keras sampe gue nggak pernah bisa ngerasa bahagia.

Kadang gue benci sama hidup gue yang kayak gini. Hidup dimana dunia memaksa dan menuntut gue untuk menjadi dewasa. Padahal, menjadi dewasa adalah suatu hal yang paling tidak menyenangkan.

Semakin hari, gue justru merasa semakin akrab dengan yang namanya kecewa. Makin kesini gue semakin diharuskan tegas sama diri gue sendiri. Karena apa? Ya karena yang paling sayang, paling peduli, dan yang selalu ada buat gue yang cuma diri gue sendiri. Orang lain yang datang sifatnya hanya sementara dan bisa hilang kapan aja.

Menjadi dewasa itu adalah hal yang berat, tapi terkadang secara nggak sadar bisa membuat gue jadi pribadi yang semakin kuat. Meskipun kadang-kadang, kalo lagi ngerasa capek kayak sekarang ini, gue suka mikir, hidup bisa di jeda aja nggak, sih?

Atau. Bisa nggak sih gue skip hari ini dan segera berlalu ke hari-hari selanjutnya?

Duh.

*****

🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️🙆🏻‍♀️

Simbiosis Mutualove You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang