Netflix and chill...

30.5K 2.7K 226
                                    

"Oh, eh, nggak. Maaf. Saya.... ngg.... saya bukan bermaksud kurang ajar. Tolong jangan salah paham." Kata Mas Sabi salah tingkah.

"Mas Sabi keliatan gampang banget ngajakin saya tidur bareng. Sering ya, Mas?" Tanya gue lancang dan sok berani. Padahal sebetulnya, gue deg-degan nunggu jawaban Mas Sabi.

"Nggak." Jawab Mas Sabi cepat. Sambil melambaikan tangannya didepan wajah gue dan geleng-geleng kepala. Seolah menegaskan kalo Mas Sabi memang nggak pernah melakukan hal semacam itu sebelumnya. "Saya bukan orang yang seperti itu. Tolong jangan salah paham."

"Kalo sering juga nggak papa, kali. Mas sabi 'kan udah gede. Udah bisa nanggung dosa sendiri. Chill."

"Ya memang betul saya udah besar. Tapi, kamu salah paham. Faktanya, saya bukan orang yang sering ngajakin orang lain tidur bareng."

"Tapi pernah?"

"Eh? Ngg...." Mas Sabi menjilat bibirnya salah tingkah. "Maaf Ra. Sungguh. Saya nggak ada maksud untuk melecehkan kamu apalagi kurang ajar."

Well, baiklah. Sepertinya Mas Sabi memang pernah ngajakin orang lain tidur bareng. Atau mungkin juga bukan cuma ngajakin, tapi bahkan udah pernah tidur bareng. Ya, mungkin. Ini asumsi gue aja, tapi semua keliatan jelas dari bagaimana cara Mas Sabi mencoba untuk mengalihkan pertanyaan gue dengan minta maaf soal suatu hal yang sebetulnya nggak membutuhkan permintaan maaf.

"Sekali lagi, saya minta maaf." Kata Mas Sabi.

"Nggak, Mas. Saya sama sekali nggak merasa dilecehkan, kok." Jawab gue. "Santai aja..."

"Sorry.... hm... saya cuma khawatir...." Cicit Mas Sabi, "saya khawatir kamu salah paham dan mikir macam-macam soal saya. Saya minta maaf kalo kata-kata saya tadi menyinggung perasaan kamu."

"Maaf nih Mas sebelumnya, tapi dari kecil, saya nggak pernah diajarin untuk jadi anak yang curigaan. Jadi, ya.... santai aja. Saya nggak akan mikir macam-macam soal Mas Sabi." Kata gue panjang lebar. "Kalo gitu nggak usah kelamaan, nanti kemaleman. Yuk. Mau tidur sekarang?"

"Eh? Hm... kalo kamu nggak mau ya... nggak apa-apa. Saya nggak maksa. Sumpah...." Mas Sabi malah tambah salah tingkah.

"Loh? Gimana sih, Mas? Tadi katanya Mas Sabi ngajakin saya tidur bareng."

"Nggak, bukan. Saya bukan ngajakin kamu tidur bareng, Dira." Tegas Mas Sabi. "Saya bilang, saya bisa nemenin kamu tidur di kamar ibu saya. Itu pun kalo kamu nggak keberatan."

"Lantas? Apa bedanya dengan tidur bareng?"

"Beda." Keukeuh Mas Sabi. "Kamu tidur di kasur ibu saya, sementara itu saya bisa nemenin kamu dengan duduk di sofa sambil nyelesain pekerjaan saya. Nanti kalo kamu udah tidur, baru saya tinggalin kamu sendiri."

"Well, kalo gitu Mas Sabi akan bikin saya nggak nyaman."

"Kenapa gitu?"

"Saya nggak bisa tidur sambil diliatin karena saya bukan bayi yang butuh pengawasan." Kata gue terang-terangan.

"Oh, gitu ya." Mas Sabi ngangguk-ngangguk. "Yauda, kalo gitu, mungkin lain kali aja. Mari.... saya ke kamar saya dulu. Kalo kamu berubah pikiran dan mau saya ngebantu kamu untuk ngerapihin kamar kamu. Kamu bilang saya aja."

"Iya, Mas."

"Selamat istirahat, Ra."

"Mas Sabi juga." Kata gue. "Makasih buat traktiran makan malamnya."

"Sama-sama."

"Makasih juga...." Gue menyentuh leher gue yang menjadi tempat sayatan luka yang saat ini udah terbungkus plester. ".... ini. Makasih udah diobatin."

Simbiosis Mutualove You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang