[1] Orchis Italica

642 99 17
                                    


Ini enggak enak banget, tetapi aku harus mulai cerita ini dari kematian tetanggaku: Nyonya Esmee De Jong. Beliau berumur 70 tahun dan tinggal sendirian di sebuah rumah dua lantai bergaya Belanda. Ibuku bilang, rumah itu bahkan lebih tua dari usia Ny. Esmee. Pot-pot bunga berisi tanaman hijau berdaun lebar mengelilingi seluruh rumah. Temboknya tebal, seperti penjara. Tepatnya, seperti Musem Fatahillah. Sejak aku lahir, rumah itu sudah ada di sana dan Ny. Esmee rajin menyapa orang-orang yang lewat setiap pagi.

Ibuku membangunkanku sebelum matahari terbit. Dengan panik dia bilang, "Pake baju, cepetan! Si Nyonya metong barusan."

"Terus pake baju mau ke mana?" tanyaku, membuka selimut dengan malas.

"Ke rumah duka, lah. Si Nyonya, kan enggak ada keluarga lagi di Bandung. Turun-temurun dia tinggal sendirian di rumah hantu itu. Paling keluarganya baru pada nyampe besok. Kita sebagai tetangga sebelah rumah, harus sigap bantuin." Ibuku membuka lemari dan memilihkan baju untukku. "Kamu pakai gaun warna hitam ini, ya. Yang ada kembang-kembangnya."

"Itu, kan gaun pesta." Aku berkacak pinggang di depan lemari, di mana ibuku masih sibuk memilah-milah semua koleksi setelanku.

"Enggak apa-apa. Intinya kamu kelihatan lebih menter. Nanti Mama bantu sanggul rambut kamu pake sirkam emas. Sekarang, mandi! Pake yang ini pokoknya."

Ada banyak hal yang perlu kuceritakan kepadamu. Salah satunya alasan utama ibuku menghambur masuk dan memilihkan setelan yang harus kukenakan ke rumah duka. Aku yakin seratus persen, ibuku tidak begitu peduli pada kematian Ny. Esmee. Malah mungkin ibuku bersyukur Ny. Esmee tiada, karena akhirnya tak akan ada yang rewel menasihatinya soal "rukun tetangga".

Oke, aku cerita satu per satu, ya. Dimulai dari Jalan Orchis Italica yang lokasinya terpencil di bilangan Dago, Kota Bandung. Untuk mengakses jalan ini, kamu perlu melewati serangkaian jalan menanjak dengan pepohonan tinggi yang sejuk di kanan kirinya. Kalau kamu berhasil menemukannya, kamu akan bertemu sebuah jalan kompleks yang tenang dan damai, dengan hanya sembilan rumah berjejer hingga ke ujungnya.

Empat rumah di sisi kiri, empat rumah di sisi kanan, dan di akhir jalan yang buntu adalah rumahnya Ny. Esmee De Jong.

Penomoran rumah dilakukan dari rumah paling kiri ketika kamu mengakses Jalan Orchis Italica pertama kali. Satu, dua, tiga, rumahku nomor empat, lalu Ny. Esmee rumah nomor lima, dan seterusnya sampai nomor sembilan. Kompleks perumahan ini memiliki sistem RT tersendiri. Sehingga setiap lima tahun, akan dipilih Ketua RT dari siapa pun kepala keluarga masing-masing rumah.

Saat ini yang menjabat Ketua RT adalah Mang Dadang, tinggal di rumah nomor 7.

Setiap rumah tampak seperti rumah gedong. Semuanya dua lantai dengan gaya arsitektur berbeda total. Dengan sistem cluster (kecuali bentuk bangunan) dan sistem keamanan tingkat tinggi, tak ada pagar kayu maupun besi mengelilingi bagian depan rumah, kecuali pagar tembok yang memisahkan rumah satu dengan rumah yang lain. Pun dinding tinggi yang mengelilingi seluruh kompleks, memisahkannya dari perkampungan lokal.

Rumahku bergaya minimalis dengan aksen kubisme kuat. Bentuk bangunannya kotak, jendelanya tinggi dengan persegi panjang sempurna, profil-profil kayu yang dipahat kotak sempurna mengelilingi pintu, jendela, dan tepian bangunan. Pepohonan pinus ditanam ayahku di bagian belakang rumah, sebagian lagi tumbuh mungil memisahkan rumahku dengan rumahnya Bu Merry di nomor tiga, dan Ny. Esmee yang luas lahannya paling besar di antara rumah-rumah yang lain.

Nah, meski sudah lama tidak menjadi Ketua RT di Jalan Orchis Italica ini, Ny. Esmee tetap menjadi wanita yang dituakan. Beliau dianggap bijak menghadapi segala macam situasi. Istilahnya, kepala suku. Bahkan kurasa Ny. Esmee memiliki kantung Doraemon. Delapan rumah yang lain, kalau ada keperluan mendadak, biasanya mendatangi Ny. Esmee untuk meminta bantuan. Dan, anehnya, Ny. Esmee selalu bisa membantu.

Familie De JongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang