Supir Angkot Itu Ayahku
--
Namaku Nayla, Nayla Margareta tepatnya. Aku lahir di Surabaya dan dibesarkan oleh Almarhum ayahku. Jika kau bertanya di mana ibuku, maka aku akan menjawab "aku tidak punya orang yang bisa aku panggil ibu."
Aku dulu pernah bertanya beberapa kali kepada ayah di mana ibu sekarang, tapi untuk kesekian kalinya ayah hanya menjawab dengan sebuah isyarat. Yaitu diam, diam membisu. Yang bisa menjelaskan bahwa mungkin "Ibu pergi meninggalkan kita."
Sebelumnya, aku akan menceritakan di mana posisiku sekarang. Disini aku masih di kota Surabaya, dengan malam yang dingin tanpa sosok ayah di sisiku. Dan di malam ini akan aku ceritakan kembali kisahku, tentang sebuah peristiwa dan sebuah kenangan di dalamnya. Tentang rindu dan penyesalan ku, dan tentang permintaan maaf yang terlambat.
Ayah, ini putrimu.
--
Tahun 2007. Aku Nayla, gadis kecil yang baru genap berumur 10 tahun. Aku tak pandai bergaul, bukan karena aku anak yang pemalu. Melainkan karena mereka (teman-temanku) malu harus bermain dengan anak kurang mampu sepertiku.
Pekerjaan ayahku hanyalah supir angkot, gaji yang pas-pasan hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok. Walaupun terkadang kami tak makan seharian penuh, dan aku sering menanggung malu karena selalu telat membayar iuran sekolah.
Masa kecilku begitu suram menurutku, tak pernah bermain dan selalu diam di dalam rumah. Begitu pula dengan masa remajaku di bangku SMP dan SMA.
Dan di tahun 2014, saat umurku belum tepat 17 tahun. Aku masih tetap sama, dengan keadaan yang sama, tak pernah kurasakan berubah.
Baju yang masih kusut, lusuh, pantasnya sudah tak di pakai lagi. Malah hal itu yang selalu aku pakai di setiap aku bersekolah. Ejekan, olokan, dan hinaan sudah menjadi makananku setiap hari. Mereka bilang, orang seperti ku tidak pantas bersanding dan disejajarkan dengan mereka anak orang kaya.
Terkadang aku kesal, terkadang marah sampai tangan ini ingin sekali menampar wajah mereka dan membungkam mulut mereka semua. Namun apa kenyataannya? Aku hanya bisa diam dengan wajah tertunduk dan pura-pura tuli untuk tidak mendengarkan hinaan itu. Walau seringkali aku menangis sembari berteriak. Namun tetap tidak ada yang bersimpati ataupun mendekatiku dan berkata, "sudah ... Tak apa."
Tidak ada.
Tidak ada orang baik di sekitarku.
Mereka semua orang jahat.--
"Aku malu! Aku malu hidup seperti ini! Aku benci hidup miskin, Yah! Nayla ingin hidup seperti temen-temen Nayla! Punya segalanya! Apa Ayah tidak bisa mengabulkan permintaan Nayla itu?!" hanya kata-kata itu yang seringkali aku lontarkan kepada Ayah. Tanpa berpikir, tanpa kepala dingin, aku hanya bisa marah dan mengeluh.
"Aku benci Ayah." sebuah kalimat yang dengan mudahnya aku lontarkan pada Ayah. Aku bahkan tak pernah mengatakan, "aku sayang Ayah."Jika ini tahun 2014 atau tahun sebelumnya, mungkin aku tidak akan pernah menyesal. Namun sekarang, rasanya begitu menyakitkan jika aku mengingat tahun-tahun itu. Dimana tangan kecil ini sudah tak di genggam siapa-siapa lagi.
Dan di setiap aku mendapatkan masalah, aku hanya bisa melampiaskan kemarahan ku kepada Ayah ku. Tanpa meminta maaf.
"Aku malu hidup seperti ini, Yah! Aku bosan hidup miskin!" bentakku pada Ayah. "Nayla pengen kayak temen-temen Nayla. Punya baju bagus, tas bagus, sepatu mahal, sepeda motor, handphone mahal! Ayah bisa nggak sih bahagiain Nayla!? Capek aku gini terus! Lebih baik Nayla nggak punya Ayah!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Satu
Short Story[1/1] one-shot (SELESAI) Kumpulan cerita pendek dan one-shot dengan tema acak. [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, HARGAI KARYA AUTHOR DENGAN VOMENT] MAU SUKSES? JANGAN PLAGIAT! Cerita ini hanya fiksi belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, kejadian, d...