SATU | Surat kecil yang tak sampai -Sad story

227 12 0
                                    

Surat kecil yang tak sampai

Part 1

--

Dia tidak tinggal di desa, dia tinggal di kota besar. Tapi, mengapa dia tetap di panggil orang udik? Kenapa semua orang di sekolah memanggilnya kampungan?

Mungkin ... Karena dia tinggal di area kumuh di kota, tinggal bersama bapaknya yang hanya seorang kuli, dan ia hidup tanpa sesosok ibu. Dia tidak ditinggal mati. Tapi ia ditinggal pergi. Bisa dibilang, ibunya pergi karena masalah ekonomi, atau lebih tepatnya mencari pria mapan diluar sana.

Dia sangat sedih, begitu sedih sampai ia bisa mati—karena jantungnya hampir tak bisa digunakan lagi. Dia butuh jantung baru, tapi darimana? Sekedar untuk membeli tempe saja, kadang ia tak mampu. Bagaimana dengan membeli jantung baru? Memang pemerintah ingin memberikan dia jantung secara gratis? Tentunya tidak. Pemerintahan kita tak sekaya itu sampai bisa membelikan jantung baru untuk rakyat mereka.

Begitu miris kehidupan dia, sangat miris jika dia sedang membayangkan—bagaimana ia di masa depan nanti.

Tapi setidaknya, orang-orang masih mengingat namanya. Ira, Irawati. Jelas dan juga singkat. Namun tetap saja masih banyak orang yang ingin melupakan nama itu. Entah mengapa. Aku juga tidak tahu.

--

Pagi itu di hari rabu, saat cuaca sedikit mendung. Ira berjalan kaki menuju sekolahnya dengan sepatu hitam yang lusuh seperti tak layak pakai. Sudah berlubang dimana-mana dan tampak banyak jahitan di sekitarnya. Tapi hanya itu sepatu yang Ira punya, kalau pengin beli yang baru—pakai uang siapa?

Tidak ada pilihan lain kecuali tetap memakai sepatu itu, dan juga ... Tak ada pilihan lain untuk Ira menerima semua hinaan yang akan ia dengar lagi dari teman-temannya di sekolah. Namun Ira tak apa, dia sudah terbiasa dengan semua itu.

Ira gadis yang kuat, ia mampu melakukan apapun agar air matanya tak jatuh karena hinaan mereka. Ira hanya akan menangis saat ia bahagia, karena ia sudah berjanji pada Bapak dan juga Bu Novi, guru Biologi nya.

Sesampainya Ira di depan gerbang sekolah, ia sudah disuguhi hinaan oleh teman sekelasnya. Tapi yang mereka hina adalah Ira, gadis kuat yang tak akan terlihat lemah.

“Dih, lihat nih ada anak kampung mau masuk sekolah.” ejek salah satu teman Ira.

“Lihat tuh sepatu dekil kek gitu kok masih di pakai sih, nggak ada uang yah buat beli?” ejek teman satunya pada Ira.

Dan hebatnya, Ira malah tersenyum. “Iya, aku nggak punya uang buat beli sepatu. Tapi untungnya, aku masih punya harga diri untuk tidak menghina orang lain.” ucap Ira dengan senyum cerah. “Aku permisi dulu yah, mau masuk kelas.”

Ira kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam lingkungan sekolah tanpa mempedulikan teman-teman yang menghina ia tadi. Ira itu gadis hebat, meski kadang perkataannya yang terlalu jujur itu sangat menyakitkan. Tapi hal itu lebih baik daripada perkataan teman-temannya itu, yang hanya bisa menghina dan tak bisa menghargai.

--

Pelajaran pertama hari ini adalah biologi, mungkin karena itu mata pelajaran yang di ajarkan Bu Novi, guru favoritnya yang sekaligus teman akrabnya.

“Selamat pagi anak-anak.” sapa Bu Novi ketika sudah masuk ke dalam kelas. Dan serentak murid lainnya menjawab, “selamat pagi Bu.”

“Sekarang kalian buka buku paket halaman 117 yah, setelah itu kita akan praktik di lab.” ujar Bu Novi.

“Baik Bu.” jawab murid-muridnya.

Ah, sial. Dimana buku itu? Pikir Ira dalam hati ketika menyadari bahwa buku biologi miliknya hilang tak ada di dalam tasnya. Padahal Ira yakin kalau kemarin malam ia sudah memasukkan bukunya ke dalam tas. Tapi dimana keberadaan buku itu sekarang?

“Maaf, Bu. Sepertinya buku saya ada yang mengambil.” ucap Ira pada Bu Novi, dengan kata halus ia tidak menyebutkan kata mencuri.

“Ada yang mengambil? Tapi kenapa Ira?” tanya Bu Novi tak mengerti.

“Maaf, Bu. Saya juga tidak tahu.” jawabnya.

“Kalau begitu ... Untuk siapapun yang mengambil buku milik Ira, segera dikembalikan atau Ibu geledah tas kalian satu persatu.” ujar Bu Ira kepada semua muridnya.

Dan seorang murid yang tadi pagi berpapasan dengan Ira menjawab, “nggak mungkin dong Bu, kalau diantara kami ada yang mencuri buku milik Ira. Kan kami semua anak orang kaya, nggak mungkin dong memcuri buku milik anak pemulung kayak dia.”

“Cindy, jaga bicara kamu.” ucap Bu Novi pada murid yang bernama Cindy itu.

“Nggak apa-apa kok Bu, separuh dari yang Cindy katakan tadi benar.” kata Ira pada Bu Novi. “Mereka semua anak orang kaya, tapi saya bukan anak pemulung. Saya anak seorang kuli ...”

Dengan nada bangga Ira mengatakan hal itu, mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang kuli. Yang berarti, ayahnya seorang pekerja keras.

“Meskipun begitu, Ibu akan tetap menggeledah tas kalian.” ujar Bu Novi pada muridnya.

“Kalau begitu Bu, boleh saya menggeledah tas teman saya dulu?” pinta Ira pada Bu Novi dan Bu Novi mengiyakannya.

Ira pun berjalan menuju teman yang tadi pagi menghinanya di depan gerbang sekolah, mungkin Ira mencurigainya.

“Eh, ngapain lo jalan ke arah gue? Lo nuduh gue mencuri buku lo itu?!” ujar Cindy tampak cemas dan takut, jelas dari raut wajahnya ia tampak panik.

“Aku nggak ngecurigain kamu kok, tapi aku cuma pengen tahu ... Kenapa kamu kayakanya benci banget sama aku, dan aku kesini bukan untuk nuduh kamu juga ... Tapi karena aku tertarik dengan buku yang ada di meja kamu ini.” kata Ira pada Cindy, yang membuat Cindy tampak semakin mencurigakan dengan tingkahnya.

“Alesan! Gue tahu kalau lo mau nuduh gue di hadapan semua orangkan?!” Cindy tampak marah dengan mata yang mulai memerah.

Mungkin, cemas.

Ira menggeleng, “enggak, kamu salah paham.” jelas Ira pada Cindy, “kalau gitu, aku lihat buku mu yah?”

Seharusnya Cindy memperbolehkan Ira untuk melihat bukunya—jika ia tidak merasa mengambil buku milik Ira. Namun malah sebaliknya, Cindy marah dan memaki Ira. Ia tak memperbolehkan Ira untuk melihat bukunya.

Mungkin dugaan yang kita pikirkan sama, mungkin Cindy-lah yang mengambil buku milik Ira.

“Nggak! Nggak boleh! Gue nggak ngizinin lo untuk melihat buku gue!” kata Cindy. “Orang miskin kayak lo nggak diizinkan untuk menyentuh barang-barang gue.” makinya pada Ira.

“Cindy! Kamu tidak boleh mengatakan hal itu pada teman kamu!” Bu Novi menyahut, lalu salah satu siswa laki-laki di pojok bangku depan juga ikut menyahut. “Kalau lo nggak merasa mengambil buku milik Ira, seharusnya lo biarin dia melihat buku lo!”

“Bener itu, Cindy. Kalau lo nggak bersalah, biarin Ira ngelihat buku lo.” ujar Metta, teman sebangku Cindy.

“Ini peghinaan tahu nggak!” sentak Cindy membuat suasana kelas menjadi hening. “Kalian menyuruh gue untuk ngebiarin anak kampungan ini ngecek buku gue! Itu sama aja kalian ngehina gue dan nuduh gue sebagai pencuri!”

Wajah Cindy memerah marah, matanya juga sedikit mengeluarkan cairan. Ia menangis, ia malah tampak seperti orang yang menjadi korban. Tapi bagaimana dengan Ira? Ia tidak menangis, ia masih tetap tersenyum tipis sama seperti sebelumnya.

Atau mungkin, Cindy memang tak bersalah? Tapi jika benar ... Siapa yang mengambil buku milik Ira?

(Sambungan ada di part 2)

[✔] SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang