Bohong
--
Mungkin hanya dia, satu-satunya lelaki yang tak pernah berbohong. Bahkan satu kali pun ia tak pernah melakukan hal itu. Dia bersyukur memilikinya, dia juga bersyukur bisa memanggilnya Kakak.
“Aku butuh uang lima ratus ribu untuk biaya praktikum ... Ayah belum ada uang, aku jadi takut bilang sama ayah. Aku juga bingung mau nyari kemana ... Kalau aku nggak ikut praktikum, aku bisa gagal semester ini. Apa sebaiknya aku pinjam dulu sama Della, yah?” tanya Nanda pada seorang lelaki di teras depan rumahnya. Raut wajahnya cemas.
“Nggak usah. Kenapa harus pinjam uang segala. Biar Kakak saja yang carikan. Selama masih ada kakak, kamu enggak usah khawatirin apa-apa.” jawab lelaki yang ternyata adalah saudara Nanda. Raut wajahnya juga cemas namun ia bisa menutupinya.
“Jangan Kak, Nanda nggak mau ngerepotin kakak lagi. Semester kemarin kakak juga yang bayarin, bahkan segala keperluan aku kakak juga yang ngebayarin kan? Kakak juga punya kehidupan sendiri, toh gara-gara aku juga kakak nggak jadi kuliah. Nanda nggak mau ngerepotin kakak lagi.” ujar Nanda dengan raut wajah yang masih cemas.
“Nanda, kamu sama sekali nggak pernah ngerepotin kakak. Malah kamu yang buat kakak semangat buat kerja. Kebutuhan kamu itu juga tanggung jawab kakak.” Yoga, nama lelaki itu. Dengan wajah kusamnya ia tersenyum pada adiknya.
Apa yang dikatakan Nanda memang banyak benarnya. Yoga juga butuh uang untuk modal berjualan, dalam musim seperti ini susah mencari pelanggan tetap. Apalagi ia hanya bisa berjualan madu di pinggiran jalan.
“Pokoknya kamu jangan sampai minjem uang sama orang. Mau Nanda atau siapapun itu. Kakak akan usaha cari uang tambahan buat bayar praktikum kamu. Lagian masih minggu depan kan? Kakak akan usahain sampai dapet!” ucap Yoga dengan penuh semangat.
Nanda tersenyum haru dengan mata yang berkaca-kaca. Senyuman itu harus selalu aku jaga meski aku harus bertaruh nyawa untuk menjaganya.
***
Jam di dinding kayu itu sudah menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Yoga segera membersihkan diri dan berangkat ke lapak tempat ia biasa berjualan. Dimana lagi kalau bukan, pinggiran jalan.
“Bissmillah.” ucap Yoga sebelum menata dagangannya.
Berharap akan ada orang baik hati yang akan memborong madunya dan berharap semoga rezekinya dimudahkan. Meski tak semudah itu dalam kenyataan.
Matahari hampir terbenam, kendaraan sudah berlalu lalang sejak pagi. Namun tak ada satu orang pun berhenti membeli ddaganganya, sekedar melihat pun tak ada. Sedih bercampur aduk dengan rasa cemas di dada Yoga. Ia takut tak bisa memenuhi janji yang ia buat pada Nanda.
Yoga menangis. Lelaki yang sering tersenyum ini meringkuk sedih di pinggiran jalan sembari memegangi dompetnya yang usang. Kapan dompet itu akan terisi dengan uang?
***
Yoga masih belum menemukan jalan keluar agar bisa mendapatkan uang untuk praktikum Nanda. Ini sudah hari ketiga sebelum tanggal praktikum Nanda. Sedangkan hanya dua botol madu yang terjual, itupun hanya cukup untuk makan dan bayar kontrakan. Yoga tak sanggup menjawab ketika Nanda bertanya apakah uangnya sudah ada atau tidak. Yoga tak bisa berbohong pada adiknya. Maka ia diam saja untuk menutupinya.
Esoknya saat Yoga pergi mencari pekerjaan baru, ia dihampiri oleh teman lamanya dulu. Edo namanya. Mereka mengobrol sebentar hingga akhirnya Yoga mengatakan permasalahannya pada sahabatnya itu.
“Malang sekali dirimu, apalah dayaku yang juga tak punya uang ini. Untuk makan saja kadang tak ada. Sabar yah, Yog. Pasti ada jalan keluarnya.” ujar Edo sembari menepuk pelan punggung sahabatnya itu. “Ah, aku punya solusinya!” seru Edo tiba-tiba.
“Apa?” tanya Yoga bersemangat.
Edo menghela napas. “Tapi ... Menurutku ini bukan solusi yang tepat buat masalah kau itu.”
“Tidak apa-apa, katakan saja.”
“Yakin kau mau?”
“Yah! Asalkan halal!” Yoga mengangguk penuh harapan, tatapannya menunjukkan kebahagiaan. Semoga ini jalan dari masalahnya, tapi entah kenapa Edo terlihat begitu cemas.
Kemudian Edo berbisik di telinga Yoga. Wajahnya tampak kecewa.
***
Lima hari berlalu dan Yoga masih tak menemukan jalan untuk keluar dari masalahnya. Apalagi sekarang ia juga harus mencari uang lebih untuk biaya operasi batu ginjal ayahnya. Bingung, sedih dan takut. Solusi dari masalahnya hanyalah berhutang, namun pada siapa? Tetangga yang pura-pura tuli dan buta itu? Yang bahkan tak melirik sedikitpun pada keluarga miskin ini. Solusi kedua hanya itu. Solusi dari Edo.
Memang, yang Edo sarankan itu lebih dari cukup untuk membayar praktikum Nanda dan operasi ayahnya. Namun yang di pertaruhkan juga besar. Yaitu, mata.
Edo mengatakan dengan menjual kedua mata milik Yoga, dia akan mendapatkan uang dan mengeluarkannya dari masalah ekonomi yang sedang ia alami ini. Tapi dengan menjual matanya, berarti ia tak akan bisa melihat dunia lagi. Namun hanya dengan ini, ia bisa menyelamatkan kuliah adiknya dan nyawa ayahnya.
“Saya sudah bersumpah untuk menjaga senyum kedua orang itu, dan kini saat yang tepat.”
Yoga memutuskan untuk menjual kedua matanya tanpa sepengetahuan adik dan ayahnya. Ia tak mau membuat mereka menyalahkan diri sendiri atas tindakan yang ia lakukan. Dan karena hal itu untuk pertama kalinya Yoga berbohong tentang matanya.
“Kak! Kenapa mata kakak!?” tanya Nanda di depan ruang operasi ayahnya. Dia terkejut melihat kakaknya datang membawa tongkat dengan mata yang di perban, bersama dengan Edo yang mengantarnya.
“Kakak kecelakaan kerja, kakak sekarang tidak bisa melihat lagi. Maafin kakak yah dek.” jawab Yoga. Dia berbohong.
“Jadi uang operasi ayah itu dari ...” Nanda terduduk, dia meringkuk menahan tangisannya. Tak mampu berucap lagi.
“Maafin kakak dek, maafin kakak ...”
Yoga menjelaskan kepada adiknya, menjelaskan dengan kebohongan. Begitu juga dengan Edo yang terpaksa ikut berbohong demi sahabatnya itu. Nanda yang percaya hanya bisa menangisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Satu
Short Story[1/1] one-shot (SELESAI) Kumpulan cerita pendek dan one-shot dengan tema acak. [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, HARGAI KARYA AUTHOR DENGAN VOMENT] MAU SUKSES? JANGAN PLAGIAT! Cerita ini hanya fiksi belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, kejadian, d...