"Ana," panggilan Gladis memberhentikan langkah sahabatnya itu.
Suasana sekolah memang sudah sepi, karena banyak dari anak-anak sudah pulang. Menyisakan kedua gadis tersebut, mereka sengaja pulang telat karena memang ada jadwal piket.
Ana menolehkan pandangannya ke kanan, di mana Gladis berada.
"Apa?" tanya Ana pada Gladis."Tadi pas di kantin lo kenapa sih, kan cuman Laska yang datang toh kita ga ngapa-ngapain kan." Lepas sudah pertanyaan yang Gladis pendam dari saat ia pergi dari kantin.
"Hah lo gatau emang dis," gelengan kepala menyambut ucapan dari Ana.
"Dia. Yang kita temui tanpa sengaja tadi waktu istirahat itu most wanted sekolah Gladis. Dan parahnya, ga ada yang berani deketin tuh most wanted tau ga. Dia itu tertutup, aura yang selalu ia bawa membuat hampir seluruh anak sekolah kicep. Termasuk guru-guru di sini, jadi ga salah kalo dia tadi terlihat di kantin. Berarti dia lagi bolos Gladis, dan sekarang lo udah tau kan gue saranin jangan sampai lo berurusan sama tu anak." Kalimat panjang dan lebar, itulah yang diucapkan seorang Ana pada Gladis. Gladis, jangan ditanya lagi dia hanya bisa mendengarkan saja.
"Segitu menakutkannya ya seorang Laska itu, ngeri ih."
Kedua gadis itu kembali melangkahkan kakinya, tanpa tahu ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka dari awal. Senyuman seringai tercetak di bibir orang itu.
***
Rumah sederhana, dengan taman sederhana juga di depannya. Membuat kesan asri tersendiri pada rumah yang sudah belasan tahun Gladis tinggali itu. Rumah yang terkesan minimalis, namun memberikan kenyamanan dan juga ketenangan yang diidamkan orang lain.
"Assalamualaikum ibuu, Gladis pulang," tanpa mengetuk pintu Gladis langsung masuk ke dalam rumah.
Dapur, itulah tujuan utamanya. Pasti ibunya ada di sana, dan benar dugaannya. Dengan perlahan ia menghampiri ibunya yang sedang memasak itu.
"Waalaikumsalam, duh anak ibu udah pulang gimana sekolahnya tadi, lancar?" Pertanyaan yang dikeluarkan oleh ibunya membuat Gladis tersenyum, anggukan kepala menjadi jawaban Gladis.
"Yasudah sana mandi kamu mandi, habis itu ke dapur bantuin ibu nyiapin makan malam ya."
"Siap buuu," jawab Gladis seraya pergi dari dapur.
Gladis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang kakak, namun kakaknya mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan study nya. Jadi mau tidak mau ia dan ibunya harus berpisah dari kakak perempuannya itu.
Ayah. Ayah Gladis sudah meninggal saat Gladis berumur 10 tahun. Dan saat itu di mana Gladis masih manja-manjanya dengan ayahnya. Rasa kehilangan yang mendalam di alami oleh Gladis. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar, melamun itulah yang dilakukannya. Makan pun hanya sedikit saat itu.
Namun, perlahan waktu mengubah segalanya. Gladis kembali menjadi gadis ceria, ia tahu jika bersedih berlama-lama tidak akan mengembalikan ayahnya. Di umurnya yang masih terbilang kecil, ia bertekad jika ia harus membanggakan kedua orang tuanya. Terutama ayahnya yang di sana, yang melihatnya setiap hari.
Langkah kaki Gladis menggema dipenjuru rumah, ia berjalan menuju dapur untuk membantu ibunya.
"Sudah selesai nak," tanya ibu yang sedang menyiapkan piring.
"Sudah buk. Ini Gladis bantuin apa keliatannya udah selesai nih." Gladis terlihat celingukan mencari hal yang bisa ia kerjakan.
"Ohh, kamu bantu bawa piring ini aja ya ke meja makan."
Dengan anggukannya Gladis segera membawa piring-piring tadi pada tempat semestinya.
***
"Cari tau, semua tentang gadis itu jangan sampai ada satu hal yang terlewat," ucap pemuda itu pada lawan bicaranya.
Kepergian lawan bicaranya setelah pamit membuat senyum smirk terpatri di bibirnya. "Sedikit lagi baby, kau akan jadi milikku," ucapnya.
Berbeda dengan Gladis, seorang pemuda tengah merencanakan sesuatu untuk mendapatkan gadis pujaan nya. Laska, siapa lagi jika bukan dia. Ketertarikannya pada seorang gadis membuatnya mengerahkan segala cara supaya gadis tersebut bisa ada dalam pelukannya.
Pandangan Laska tidak lepas dari foto yang ada pada genggamannya. Gadis cantik yang membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. Mata yang indah, tatapan yang lembut membuatnya teringat seseorang yang berjasa sekaligus memberi kesakitan pada dirinya. Memikirkan ini membuat pening kepala Laska.
"Arrgghh.."
Pening di kepala Laska tambah menjadi, ini yang Laska takutkan jika terlalu berfikir. Sampai-sampai ia lupa akan satu hal yang terjadi pada dirinya.
"Hah .. hah .. hah argghh, tolonggg!!!"
Tidak tahan lagi, Laska memutuskan mengambil obat yang ada di kamarnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Laska mencoba berjalan walau tertatih-tatih. Beruntung, jarak kamarnya tidak jauh dari tempat yang ia singgahi. Laska memasuki kamarnya dengan pening di kepalanya yang semakin menjadi.
Laska membuka kotak laci tempat obat-obatan yang ada. "Arrghhh, sialan sangat menyusahkan saja," umpatan tidak henti-hentinya Laska ucapkan.
2 butir obat sudah Laska minum, sempurna efek dari obat langsung bekerja. Tidak mampu menahan tubuhnya, Laska memilih membaringkan dirinya pada kasur empuknya itu. Tidak lama kemudian, kegelapan mulai menyapanya, mengantarkannya pada dunia mimpi yang ada.
Terima kasih yang sudah mampir untuk membaca, tidak lupa saya mengingatkan. Jangan lupa vote, coment and share ya ke teman-teman kalian hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaska
Teen Fiction"Kau milikku.." Gladis mengernyitkan keningnya, berfikir keras apa maksud dari pemuda ini. "Apa maksud perkataanmu," tanya nya pada pemuda itu. "Kau milikku, hanya milikku, tidak ada yang boleh memiliki mu selain aku. Camkan ini baik-baik, siapapun...