Malam semakin larut, dan Gladis masih belum sampai di rumah. Temaram lampu menemani Gladis dan seorang pemuda yang ia tolong tadi.
"Lo yakin ga papa?"
Pertanyaan Gladis membelah keheningan yang ada diantara mereka. Gladis menatap miris wajah lelaki tersebut. Memar di mana-mana, dan jangan lupakan tato dadakan berwarna biru yang sudah mendominasi sisi-sisi wajah pemuda tersebut.
"Iya gue ga papa," ucap pemuda itu disertai anggukan.
Masih dengan rasa khawatir, Gladis memilih diam untuk menenangkan perasaanya. Jam di tangan Gladis sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ingin mengabari namun tak bisa sebab handphone nya lowbat. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Gladis.
"Eh, emm boleh pinjem handphone ga?" Dengan keberanian yang ada Gladis bertanya kepada pemuda itu.
"Mau apa?" Bukannya menjawab lelaki itu justru balik bertanya.
"Anu itu, gue mau nelpon orang rumah tapi handphone gue lowbat jadi gabisa makanya gue mau pinjem," jelas Gladis kepada pemuda itu.
"Thanks," lirih Gladis. Setelah itu Gladis segera mengetik nomor yang sangat ia hafal. Tidak menunggu lama terdengar suara di seberang.
"Hallo.."
"Hallo bunda ini Gladis maaf baru kasih kabar pasti bunda khawatir ya," ucap Gladis merasa bersalah.
"Ya Allah nak, bunda khawatir sekarang kamu di mana kok belum pulang sih," ujar bunda dengan penuh kekhawatiran.
"Bunda, bunda tenang aja Gladis di sini aman kok Gladis ga papa di sini, bunda jangan khawatir ya sekarang bunda istirahat oke. Ga usah khawatirin Gladis."
Ucapan Gladis menutup perbincangan ia dan ibunya. Selesai memakai Gladis mengembalikan handphone tersebut kepada pemiliknya. Udara malam yang semakin dingin membuat Gladis merapatkan sweeter yang ia pakai.
"Lo kedinginan?"
Entahlah hanya perasaan Gladis atau memang nyata. Gadis itu merasa pemuda itu terlalu memperhatikannya semenjak ia berbincang dengan bunda nya.
"Lumayan," jawaban singkat Gladis membuat pemuda itu mengerti dan langsung melepas jaket yang ia kenakan.
Keterkejutan Gladis dengan apa yang dilakukan pemuda itu berujung dengan tatapan tak sengaja nya. Mata biru kelam yang membuat gadis itu mengernyit. Ada sesuatu tersendiri di dalam nya, perpaduan antara kekelaman dan juga kekosongan. Itu yang ada dalam pikiran nya.
Sadar dari keterkejutan akibat tatapan tak sengaja nya, Gladis memilih menggosok kan kedua tangannya. Berharap hal itu mampu mengurangi dingin yang ia rasakan. Keterkejutan kembali menyerang diri Gladis, tatkala pemuda yang berada di dekatnya tersebut tiba-tiba memeluknya. Merasa tidak nyaman, Gladis sedikit memberontak hendak melepas pelukan tersebut.
"Shutt, biar kaya gini dulu gue tau lo kedinginan gue cuman mau bantu lo. Anggap aja ini sebagai rasa terima kasih gue karna lo udah nolongin gue."
Pendengaran Gladis masih sehat bukan, apa katanya tadi 'sebagai rasa terima kasih'. "Tapi ga gini gue ikhlas kok bantu lo, tolong lepasin. Gue takut kalo ada orang lewat dan salah paham sama ini semua," ujar Gladis dengan lirih.
"Ga akan, gue tau tempat ini jam segini udah mulai sepi dan lo ngapain malem-malem masih keluyuran di daerah sepi kaya gini, mau jadi cewe ga bener?"
Gladis terkejut bukan main atas perkataan pemuda itu, ia merasa itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang dilontarkan oleh nya.
"Heh, kalo ngomong disaring dulu jangan asal nyeplos aja kalo bukan karna itu angkot yang mogok gue gak bakalan yang namanya kejebak di sini. Dan terutama ketemu lo, ish," sunggut Gladis berapi-api, kesal akan lontaran pemuda itu. Gladis memilih diam setelah mendengar deheman pemuda itu.
Malam semakin larut, tak ayal membuat pemuda itu beranjak dari tempatnya dan menelpon seseorang. Gladis, gadis itu memilih duduk dan terlihat bodo amat dengan pemuda tadi. "Berdiri," ucapan pemuda itu menghentikan lamunan Gladis. Gadis itu bingung akan ucapan ambigu dari pemuda itu.
"Hah, maksudnya?" tanya Gladis untuk memastikan.
"Berdiri, gue udah suruh orang buat ke sini dan sebentar lagi dia dateng. Lo mau di sini atau mau pulang, kalo di sini yaudah terserah."
Pelototan Gladis pada pemuda itu membuat amarahnya kembali naik. "Yakali gue di sini, ya ikut lah." Gladis berdiri dari duduknya, bersamaan dengan itu sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan keduanya.
"Masuk," ucap pemuda itu seraya berjalan. Mendengar itu tanpa berfikir apapun, Gladis memilih ikut masuk.
***
Perjalanan pulang diwarnai dengan keheningan. Tidak ada satu pun diantara mereka yang ingin membuka suara. Gladis memilih diam setelah memberi alamat rumahnya pada pemuda itu. Malam sudah larut, tidak heran jika jalanan yang mereka lewati lengang."Maaf mbak ini rumahnya yang mana ya," pertanyaan supir membelah kesunyian yang ada.
"Depan sendiri, rumah cat kuning pak." Helaan nafas lega dari Gladis, ketenangan mulai ia rasakan disaat dirinya sudah mulai dekat dengan rumah nya itu.
Mobil berhenti tepat di depan rumah bercat kuning, seperti intruksi yang Gladis berikan. Saat ia akan turun, sebuah tangan menahannya. Kernyitan di dahi Gladis muncul, "Ada apa," tanya nya.
Pemuda itu tidak langsung menjawab, ia menolehkan kepalanya ke samping kiri. "Mulai sekarang jangan dekat siapapun, terutama laki-laki," ucapan pemuda itu membuat Gladis bingung.
"Maksud lo apa?"
"Lo tau arti your mine?" Bukan jawaban yang Gladis dapat, melainkan pertanyaan.
"Kamu milik ku," jawab Gladis sekenanya. Itulah yang ia tahu mengenai pertanyaan pemuda itu.
"Tepat sekali, sekarang kamu adalah milik ku begitu pun sebaliknya," Gladis diam, otaknya berputar menyaring perkataan yang pemuda itu lontarkan tadi.
Tidak dipungkiri, Gladis mengerti arti dari perkataan tersebut. Dengan kata lain, pemuda itu mengklaim ia sebagai miliknya dan sekaligus menjadikan dia kekasihnya. Terkejut akan hal itu, Ia pun kembali menatap pemilik manik biru kelam tersebut.
"Hei, apa maksudmu aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali dan apa kau bilang tadi. Aku milikmu?" Tanya Gladis dengan amarah, belum sempat pemuda itu menjawab Gladis sudah menyelanya. "Hanya dalam mimpi mu." Setelah itu Gladis segera beranjak dari duduknya dengan cepat.
Namun, sayangnya pintu mobil tersebut tidak mau terbuka. Seperti sudah terencana, ia pun berbalik ke arah pemuda itu. "Hei buka pintunya aku ingin keluar," teriakan Gladis tersebut tanpa di duga membangunkan sisi lain dari pemuda itu. Tanpa di duga Gladis, pemuda itu mendekat lalu mencengkram tangannya.
"DIAM."
Seolah tersihir, bentakan pemuda itu membuat Gladis terdiam seketika. Gladis hanya mampu menunduk, ia tak berani menatap manik biru tersebut. Tubuhnya mulai bergetar, tak ayal membuat pemuda itu merasakan getarannya. Seketika pemuda itu melonggarkan cengkeramannya.
"Aku hanya ingin sesuatu yang aku inginkan, dan hal yang aku inginkan ialah kamu tidak ada yang lain," lirih pemuda itu.
Nguengg, auto otw kabur.
Hai semua, udah update lagi ya. Pesan saya, jangan lupa pencet gambar bintang di bawah ya. Dan jangan lupa kasih komennya hehe.See you next part
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaska
Teen Fiction"Kau milikku.." Gladis mengernyitkan keningnya, berfikir keras apa maksud dari pemuda ini. "Apa maksud perkataanmu," tanya nya pada pemuda itu. "Kau milikku, hanya milikku, tidak ada yang boleh memiliki mu selain aku. Camkan ini baik-baik, siapapun...