3. Pesta Si Nomor Dua (II)

470 74 7
                                    

Pesta perayaan di ballroom Susanto Hotel mulai dipadati oleh tamu undangan. Sepertinya Joshua Susanto mengundang cukup banyak tamu yang sebagian besar merupakan kolega bisnisnya.

Kedatangan keluarga Adityawan disambut hangat oleh Joshua Susanto sendiri. Mereka berjabat berjabat tangan, kemudian terlibat dalam percakapan yang tak jauh-jauh dari masalah bisnis.

"Kudengar kau ingin membeli sebuah resort di Lombok?" tanya Mandala sebelum menyesap minuman.

"Ya, pembeliannya sedang diurus oleh George. Resort itu terlalu kecil, tapi lokasinya strategis. Setelah membelinya, kami akan merombaknya menjadi resort yang lebih besar dan menambah fasilitas," jelas Joshua.

"Sepertinya kita bisa bekerja sama lagi untuk perombakan resortmu nanti. Kontrak AR Furniture dengan Mebel House tidak diperpanjang. Kami baru saja menekan kontrak dengan salah satu perusahaan eksportir bahan baku dari Jerman. Mereka menyediakan bahan dengan kualitas yang lebih baik dari Mebel House."

Sementara ayahnya sedang berbincang dengan ayah Eve, Yeji dan Nyonya Adityawan menghampiri Eve dan ibunya yang sedang mengobrol dengan tamu-tamu lain. Joyceline, ibu Eve langsung tersenyum ramah melihat kedatangan mereka. Berbeda dengan Eve yang langsung memudarkan senyumnya.

"Apa kami mengganggu?" tanya Nyonya Adityawan ramah.

"Tentu tidak, Lea," balas Joyceline, ibu Eve tak kalah ramah. Kemudian mereka berpelukan.

"Senang sekali melihatmu datang bersama Yeji. Aku tidak pernah bertemu Yeji di pesta," kata Joyceline lalu gantian memeluk Yeji.

"Saya memang jarang pergi ke pesta, tante," jawab Yeji lalu tersenyum kearah Eve yang mendadak diam. "Selamat atas prestasimu Eve, kau hebat," pujinya, lalu memberi Eve sebuah pelukan singkat.

"Terima kasih, Yeji," jawab Eve memaksakan senyumnya.

"Pasti membanggakan sekali memiliki putri yang pintar dan cantik. Sayangnya kedua putraku sudah menikah. Kalau tidak, pasti Eve sudah kubooking untuk menjadi menantuku," ujar salah satu tamu.

"Sejak dulu aku ingin memiliki putri, tapi aku malah mendapat seorang putra nakal yang susah diatur," sahut tamu yang lain.

"Namanya juga masih remaja, sedang nakal-nakalnya. Nanti dia pasti akan menjadi lebih baik saat dewasa. Lagipula putramu tampan, Ariana," kata Joyceline bijak.

"Ya untungnya dia mewarisi ketampan ayahnya."

Obrolan para wanita sosialita itu berlanjut. Mereka berbincang akrab tanpa menyadari ada dua gadis yang tampak tidak tertarik untuk ikut nimbrung.

"Azalea, bukankah putrimu satu sekolah dengan Eve? Dan putrimu yang mendapat nilai tertinggi saat kelulusan kemarin, kan?" tanya seorang wanita tiba-tiba.

Eve batal menyesap minumannya, padahal ujung gelas tinggal sesenti lagi mencapai bibirnya.

Ibu Yeji, Azalea Adityawan, tersenyum singkat. Merasa agak tidak enak dengan Joyceline. "Benar, putriku mendapat peringkat satu kemarin."

"Wah .... kalian sungguh diberkati sehingga memiliki putri-putri yang pintar," puji wanita itu.

"Kau seharusnya juga mengadakan pesta perayaan untuk Yeji, Azalea. Putri seperti Yeji dan Eve memang harus dipamerkan kepada semua orang," komentar yang lain.

"Saya tidak suka hal-hal yang kurang penting tante. Menurut saya, pesta tidak terlalu penting. Apalagi hanya untuk nilai sekolah, bukan hal besar yang patut dirayakan." Kini Yeji yang menjawab. Entah sadar atau tidak, kalimat yang ia ucapkan secara santai itu terkesan menyindir, membuat orang-orang disitu seketika terdiam.

DecisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang