7. Satu Meja

311 75 16
                                    

Tubhh tinggi Yeji terseret pasrah saat Thea menarik lengannya menuju outlet kosmetik yang cukup terkenal di tanah air. Niat awal Thea yang berencana pulang akhir pekan ini dan menghabiskan waktu libur bersama keluarga harus batal karena ibunya sendiri yang melarang. Beliau mengatakan bahwa merekalah yang akan mengunjungi Thea nantinya. FYI, Thea memang tinggal terpisah dari orangtuanya. Thea hendak protes, tapi berubah menjadi kegirangan saat ibunya berkata telah mentransfer uang dengan jumlah yang banyak. Alasan itulah yang melatarbelakangi keberadaan mereka saat ini, berbelanja di salah satu mall terbesar di ibukota.

Keinginan Yeji yang hendak memelankan langkah—karena kakinya sudah terlalu pegal, tampaknya tidak akan terlaksana selama Thea masih penuh semangat menyeretnya dari satu toko ke toko lainnya.

Sudah hampir tiga jam mereka mengelilingi pusat perbelanjaan itu. Kedua tangan Thea tidak ada yang menganggur. Sebelah dia gunakan untuk menggandeng Yeji, sebelahnya lagi menjinjing barang belanjaan yang berjumlah enam kantong.

Sebelumnya Yeji tidak melakukan aktivitas apapun di rumah, maka dari itu Thea mengajaknya untuk berbelanja—atau lebih tepatnya menemaninya belanja. Karena ditilik dari perbedaan beban di tangan mereka, Yeji belum membeli satu barangpun. Hanya ada Gucci GG Marmont hitam yang tersampir di pundaknya.

"Nanti singgah dulu di rumahku. Kita harus mencoba masker-masker ini!" seru Thea. Beberapa bungkus masker kecantikan terkumpul dalam genggamannya, yang kemudian berpindah ke dalam keranjang.

Yeji mengangguk malas. "Setelah ini langsung pulang, kan? Jangan katakan kalau masih ada lagi yang kau cari. Kalau masih lama, kau pulang sendiri saja nanti, kakiku sudah terlalu pegal," katanya dengan nada sedikit mengancam.

"Mentang-mentang kau yang membawa mobil." Thea melangkah tak peduli, meninggalkan Yeji yang mendengus kesal.

Selain masker-masker dengan kemasan bergambar wajah wanita Korea, ada lagi kuteks-kuteks dalam botol kaca transparan yang membuat Thea menaruh seluruh fokusnya di sana. Dua belas tahun menjadi siswa sekolah membuat kuku gadis itu hampir tidak pernah tersentuh warna-warna kuteks. Sekarang saatnya ia balas dendam, memborong benda itu dengan semua varian warnanya mendatangkan kepuasan tersendiri bagi Thea. Kuku-kukunya yang jelek dan pendek tidak akan ada lagi, tergantikan dengan kuku-kuku runcing yang cantik dan berwarna.

Karena Thea yang masih berbelanja—kemungkinan besar akan memakan waktu cukup lama, maka Yeji memutuskan keluar dari outlet tersebut. Dia berdiri di luar sambil memandangi orang-orang yang lewat. Bangku terdekat dari outlet itu sudah terisi oleh dua muda-mudi. Meski masih ada space kosong, tapi Yeji enggan bergabung dengan orang-orang asing yang sedang bermesraan.

Feeling Yeji tidak meleset, sudah 20 menit berlalu dan Thea belum juga keluar. Perempuan itu bingung harus melakukan apa. Pergi berkeliling sambil menunggu Thea juga bukan pilihan yang bagus, hanya akan menambah rasa pegal di kakinya.

"Yeji?"

Sapaan dengan nada tanya tersebut membuat Yeji menoleh ke asal suara. Seorang orang laki-laki dan perempuan melangkah mendekat, salah satu diantara mereka tersenyum lebar.

"Apa kabar?" Laki-laki itu bertanya ramah tanpa menghilangkan senyumnya. Perempuan yang digandengnya seketika memandangi Yeji dengan wajah penasaran, lalu menatap laki-laki di sampingnya seolah meminta penjelasan.

"Hmm baik." Jawaban singkat tanpa basi-basi dan bertanya balik itu membuat si laki-laki semakin melebarkan senyumnya. Cukup bersyukur karena sepertinya perempuan itu masih mengingatnya.

"Siapa?" tanya perempuan di sampingnya.

"Adik kelas aku dulu waktu SMA," jawabnya lalu menoleh lagi ke arah Yeji. "Kamu sendirian?"

DecisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang