2. Pesta Si Nomor Dua (I)

356 69 1
                                    

"Jadi kau bertengkar lagi dengan orangtuamu?" tanya sebuah suara yang bersumber dari ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Loudspeaker-nya aktif dengan volume penuh sehingga terdengar jelas oleh seorang gadis yang sedang memilih baju di walk in closet.

Gadis kurus semampai itu tak langsung menjawab. Dia sibuk mematutkan dirinya di depan kaca besar dengan gaun pilihannya.

"Hmm...." gumamnya dari kejauhan yang tidak mungkin dapat didengar oleh orang yang menelponnya.

"Yeji kau masih di sana? Apa kau tidak mendengarkanku?" Suara si penelepon meninggi.

Yeji keluar dari walk in closet membawa gaun, tas, dan sebuah kotak. "Tidak usah berteriak, aku masih bisa mendengarmu. Ya, mereka marah besar terutama papa karena aku menolak kuliah di Amerika," decak Yeji meraih ponselnya. Dilemparnya barang-barang yang ia bawa tadi ke ranjang. Kemudian ia menghempaskan pantat ke atas kursi di depan meja rias. Refleksi raut masam wajahnya pada cermin dapat ia amati dengan jelas.

"Aku bingung, kau itu pintar tapi kadang jadi sangat-sangat bodoh. Ditawari kuliah di luar negeri malah menolak dan memberontak. Kalau aku jadi kau, akan kuterima dengan senang hati. Lumayan untuk bahan postingan di sosmed."

"Kalau ada universitas dalam negeri yang tak kalah berkualitas, untuk apa aku jauh-jauh keluar negeri dan mau tak mau harus beradaptasi dengan kehidupan disana. Lagipula aku kuliah untuk mencari pengetahuan, bukan untuk kebutuhan instastory," sindir Yeji.

"Uhh bijak sekali! Ngomong-ngomong, keluargamu diundang ke pesta Eve?"

"Tentu. Orangtuanya mengenal kedua orangtuaku." Yeji menyilangkan kaki, lalu memperhatikan kuku-kuku jari tangannya yang mulai memanjang.

"Kutebak kau pasti tidak akan ikut."

"Tebakanmu salah. Sekarang aku sedang bersiap-siap untuk menghadirinya. Kali ini Nyonya Adityawan tidak akan melepaskanku lagi." Yeji menghela nafasnya, mengingat sebelum-sebelumnya dia sering absen menghadiri pesta dengan berbagai alasan.

"Hahah .... Kukira kau ingin sepenuhnya jadi anak pembangkang," kekeh suara dari dalam ponsel dengan nada mengejek.

"Kurasa tak apa kali ini menuruti mereka, lagipula hanya sebuah pesta. Mereka sudah sangat marah karena masalah kuliahku. Sekarang saatnya berperan sebagai anak baik untuk mengurangi sedikit amarah mereka. Lagipula .... Si Peringkat Satu datang menghadiri pesta perayaan Si Peringkat Dua dan memuji betapa hebatnya dia. Bukankah terdengar menarik, Thea?"

"Cih dasar kau rubah licik. Aku sudah menebak kau tidak akan mau menghadiri pesta itu dengan sukarela. Baiklah, selamat bersenang-senang kawan. Jangan lupa ceritakan padaku bagaimana reaksi Si Peringkat Dua setelah kau memujinya. Dia memang harus dikasih pelajaran sesekali," kata Thea menggebu-gebu.

Kemudian panggilan terputus.

Yeji terdiam sebentar. Visualisasi sebuah wajah cantik terbayang dalam lamunannya.

Revelina Augustine Susanto atau Eve, pemiliki pesta yang akan ia hadiri mungkin satu-satunya orang yang berani menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan secara terang-terangan. Bukan rahasia lagi bahwa gadis cantik berdarah Indo-Korea itu begitu membencinya. Eve adalah gadis yang manis dan ramah, kecuali terhadap Yeji tentunya. Tidak tahu sejak kapan tepatnya gadis itu membenci Yeji. Mungkin sejak Yeji mengabaikan uluran tangannya saat mereka bertemu di kelas 10 dulu. Atau mungkin sejak mendapati namanya berada di urutan kedua–tepat di bawah nama Yeji saat pengumuman ranking pada semester satu. Sejak kapanpun itu, Yeji sebenarnya tidak peduli. Gadis itu cenderung memiliki sifat apatis. Baginya sikap Eve tidak tidak berarti apa-apa. Tapi mempermalukan gadis itu sesekali tak apa bukan?

DecisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang