I'm so sick of this hole exsistence.
Jalan cemara yang biasanya ramai mendadak sepi ditinggal semua penghuninya pulang kampung, tradisi setiap lebaran. Kota ini hanya perantauan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang pasrah ditinggal kapan saja. Kota ini tidak posesif. Ia tak pernah meminta lebih meski tahu bahwa ia hanyalah dianggap sebagai tempat kerja. Such a humble city. Ia tak pernah marah meski tanahnya dibuat begitu penuh dengan problematika manusia.
"Aaaaaaa...." gadis itu berteriak sekeras-kerasnya, sekuat mungkin.
Mengadunya pada kota kosong ini. Ditangisinya sepi yang ia rindu selalu, dalam cara yang anarki namun senantiasa menepi. Napasnya terengah. Ia biarkan bahunya naik turun cepat tanpa jeda. Dipaksanya jantungnya bekerja keras mempertahankan detakan cepat yang membuatnya sesak. Terengah-engah. Sampai keringat mengucur deras dari tubuhnya. Biar puas semua laranya. Sekarang ia tak perlu menghela napas lagi. Tak perlu menahan tangis lagi. Tak harus berpura-pura kuat lagi.
Gadis itu terduduk di jalanan beraspal yang ternyata sangat lebar. Mengamati batuan abu-abu gelap kecil yang seolah menyatu di sana. Kalau jalan seluas ini masih saja sesak oleh macet, jadi siapa yang salah? Manusianya yang terlalu malas berjalan atau memakai transportasi umum? Atau jalannya yang kurang luas? Tunggu, jangan-jangan ini bukan soal salah atau benar. Kenapa semua hal tidak bisa dipukul rata saja? Menyalahkan keadaan selalu lebih menyenangkan dibanding merutuki diri sendiri. Tapi tak semua manusia bisa. Diri sendiri yang terus berjuang untuk tetap bernapas nyatanya serba salah dan dipaksa terus menanggung beban kebencian dari jiwa dan manusia lainnya. Itu jahat sekali. Tapi menyalahkan keadaan terdengar kekanakan.
"Aaaaaaaaaaaaaaaa...." ia berteriak lagi.
Kali ini lebih keras sampai lehernya sakit.
Derai air mata membingkai rautnya yang sulit diartikan. Ia jelas menangis, tapi bibirnya tersenyum. Sudut matanya berkerut, senyum itu tulus. Tapi derai air matanya nyata derasnya. Badan itu bergetar. Apa yang ada dipikirannya? Apa ia menangis bahagia. Atau sudah mati rasa akan perihnya nestapa dan memilih menikmatinya.
Gadis itu rebah di aspal. Menikmati panasnya sinar oranye matahari pada pukul empat lewat lima puluh tujuh sore itu. Ia hirup udara tanpa polusi ini. Meski seminggu lagi kota akan riuh, penuh , dan sibuk, lalu langit kembali mendung, bersedih, muram. Ia akan menikmati kedamaian ini sendiri. Ia tak mau berbagi. Sudah cukup. Persetan dengan semuanya.
"Aku bukannya gila, jangan menatapku begitu." ucapnya parau.
"Seratus persen sakit jiwa kau tahu."
Lelaki yang sedari tadi diam dan hanya mengamati itu akhirnya bersuara. Ia memang jengah tapi mau bagaimana lagi, jarang sekali Nirmala bisa begitu leluasa. Kenirmalaan itu selalu tersembunyi dalam paras selengean dan kaku. Persona yang diciptakan perempuan itu sendiri. Dan ia merasa beruntung diizinkan untuk bisa melihat sisi melankolis Nirmala.
"Puaskan saja, Nir. Lepaskan semua beban itu. Bersedihlah, menangislah, sampai matamu bengkak. Berteriaklah lagi sampai suaramu hilang dan tenggorokanmu sakit. Puaskan lalu lepaskan nyeri itu. Biar sengsara hanya sampai hari ini saja. Kalau menjadi kuat terlalu berat dan malah makin menyakitimu, maka begini saja terus. Jadi Nirmala yang sebenarnya."
Nirmala terkekeh meski ingus dan air matanya terus mengalir tanpa henti. Ia makin terisak mendengar penuturan Janu. Ia masih diam berbaring. Ingin sekali memeluk lelaki yang kalau bisa dideskripsikan dengan warna, maka menurutnya Janu adalah ungu. Bukan ungu terong yang kuat dan tegas, melainkan lembut, ramah, dan pengertian seperti ungu baby purple.
"Kenapa? Sudah lebih lega?"
"Aku tidak mengerti."
"Mengerti apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
jagad raya
Short StoryDalam manusia ada masa ketika cita diganti harap dan putus asa, menggerakkan poros luka, sesekali tertawa. Apa sih hidup itu selain selingan saja, lagipula lahir memang untuk mati. ⚠Cerpen yang dibuat dengan penuh ketiba-tibaan dan kegelapan.