Yang Dilepas Malam Agar Pagi Bersemi

28 2 0
                                    

How you love yourself is how you teach others to love you.
-Rupi Kaur

     Aku tak pernah menyangka bahwa hidup terdiri dari banyak fase dimana pada setiap titiknya, ia memperkenankan manusia untuk jatuh, terpelanting, sedikit terangkat, melayang, kemudian terbang. Hingga mencicip senang, marah, perasaan babak belur, lalu menggila, bahkan sampai mati rasa. Aku tidak mengerti bagaimana dan kapan tepatnya pemikiran-pemikiran ini merasuki otakku. Yang kutahu, menghidupi dan bertahan dalam eksistensi ini begitu berat.

     “Woy penghuni pojokan!” Dolly, ketua tim basket perempuan itu, menegur pasca aku tak sengaja bersitatap dengannya yang berkumpul dengan gang high classnya di meja guru. “Matamu menggangguku!”

     Aku terhenyak atas seruannya. Sudah sejak lama aku benci berada di sekolah sebab tak memiliki teman dan ilmu yang diajarkan kurasa tak terlalu menolongku keluar dari lubang hitam. Di dunia ini tak ada tempat untuk pecundang sepertiku. Tidak bahkan di institusi pendidikan sekalipun.

     “Biarkan saja dia melakukan halnya, sekalipun itu membuatmu sedih, sedikit berkorban untuk kebahagiaan orang lain tidak apa-apa bukan?” Jerin, perempuan paling kaya dan cantik sekaligus putri mahkotanya semua orang itu menahan Dolly yang hendak mendekat ke bangkuku di pojok belakang.

     Seisi kelas tertawa beberapa tersenyum, barangkali terbuai cara bicara Jerin yang lembut semacam siraman rohani bidadari cantik yang memberi petuah dengan martabat dan kerendahan hati. Lain bagiku, kata yang meluncur dari bibirnya terasa seperti tamparan telak yang menjejakkan bekas menyakitkan di pipi hingga takkan pernah benar-benar sembuh.

     Harusnya aku bersuara. Tapi menyataannya aku malah mengepalkan tanganku erat dengan nyali ciut menunduk di pojokan. Apa aku semenyedihkan itu, meski sudah jelas terlihat bahwa anak keren seperti mereka tidak dirugikan sedikitpun? Toh, aku menulis di pojok tak terlihat. Kenapa aku yang bahkan tak pernah dianggap eksistensinya selama ini mendadak disalahpahami dengan cara yang paling menyakitkan? Kenapa lama sekali bel pulang berbunyi? Ah, ini bahkan belum jam istirahat kedua.

     Tak seperti murid lain, aku benci jam kosong, waktu-waktu bebas yang sangat memungkinkanku menjadi bahan olok-olok seperti sekarang. Meski aku tak pernah terlihat, tetap saja aku takut. Kikikan orang lain, bahkan makian kecil sebagai upaya mengekspresikan diri pun kerap kurasa ditujukan padaku. Rasa terpojokkan ini memang tak asing. Bedanya kali ini aku benar-benar sedang dirundung.

     “Jangan belagu ya di sini. Kau diam tak terlihat seperti biasa saja sudah sangat mengganggu. Dibaikin makin ngelunjak ya?”

     “Udah jelek, miskin, berani masuk kelas unggulan lagi, definisi tidak tahu diri. This excellent class is for excellent people not a loser like you. We're not even in the same level, how dare you to step on the same floor like we do.” perkataan Hara menikamku telak.

     “Girls, stay classy.” Jerin turun dari meja guru dan melangkah ke arahku. “Memangnya dia salah apa sih? Ada yang bisa menjelaskan?”

     Hara, anjing pavlov Jerin mulai mengujar kesalahanku. “Kesalahan pertama, berani duduk sebangku sama Zio.” Jadi itu sebabnya.

     Siapa cepat dia dapat adalah sistem yang berlaku di kelasku termasuk untuk urusan bangku. Setiap harinya semua orang berlomba datang pagi agar bisa duduk dekat dengan putri mahkota yang selalu berada di barisan depan kelas. Sementara bangku pojok yang aku duduki sendirian tak sedikitpun menarik minat mereka. Aku nyaman dengan itu, bisa berangkat ketika aku siap dan tak akan ada yang merebut singgasana kenyamananku.

     Zio, anak futsal, pacar Hara, sekaligus wakil ketua osis itu datang terlambat. Secara mengejutkan, ia memilih duduk di bangkuku setelah menyerahkan surat izin masuk kelas ke meja guru. Aku terkejut mendapati lelaki jangkung berkulit sawo matang itu duduk di sampingku. Bahkan seisi kelas menolehkan kepala ke bangku pojok tak terlihat ini. Aku sudah menduga, masah akan menerkamku hari ini. Meski tatapan intimidasi seisi kelas hanya berlangsung selama beberapa detik, karena Bu Arni, guru PPKN yang terkenal tegas itu segera menegur untuk menyimaknya menerangkan. Gemuruh perasaan tak enak menyelimuti dadaku.

jagad rayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang