Hari itu, kodok hijau bernyanyi ria dalam malam yang digambuhi hujan deras tanpa petir sejak pagi. Membanjiri sudut-sudut jalan hingga tergenang air akibat ulah sampah yang membuatnya mampet. Sama seperti hati lelaki di sebuah indekos kecil yang kini hanya bisa mematung seiring jatuhnya bulir hujan melalui ujung atap seng di atasnya. Aliran air itu membawa perasaan sedih yang menyeruak dalam dirinya. Sisanya menciprat, sisakan lengannya basah oleh air asam dan polusi.
Awan kelabu menggantung rendah mengajaknya membiru. Tak ada data tentang dirinya. Tak sedikitpun bahkan serupa NIK atau KTP pun tidak. Jangankan itu, namanya sendiri saja ia tak tahu. Jikalau ia mati malam ini, nama panggilan yang diciptakan teman seperjuangannya hanya akan jadi segaris lalu contoh hidup yang nahas untuk orang yang mengenalnya, yang mana cuma sejumlah jari tangan manusia pada umumnya, tak termasuk jari kaki.
Sudah miskin, jelek, penyakitan, tak punya teman, dan pengangguran. Kombo yang sempurna. Perfect all kill. Apakah ada manusia di dunia ini yang lebih malang dari dirinya? Barang kali ada pun itu sama sekali tak mengurangi perasaan perih yang menusuknya saat ini. Namun di sela kegundahan itu ia sempat mengendus ketiaknya sendiri. Ya, setidaknya ia tak begitu memiliki bau badan yang tak sedap. Pokokny harus rajin mandi.
"Edo, lapar Bang..." suara bocah kecil menginterupsi sesi galaunya kali ini.
Yang ia punya hanya seorang lelaki kecil. Dan bocah lelaki kecil itu pun juga bukan miliknya sepenuhnya. Bocah kecil namanya Edo. Dan Edo tak memiliki sedikitpun dari diri orang yang dianggapnya abang ini. Karena bahkan Aceng tak tahu sampai kapan tubuhnya yang cuma titipan ini bertahan. Bisa melewati satu malam saja sudah jadi keajaiban.
Anjing, gak ada uang lagi!
Dalam balutan kaos abu kebesaran yang lusuh dan jeans berpotongan tak rata selutut, Aceng merogoh kantongnya yang sebagian besar kosong. Cuma ada beberapa butir pasir yang menyelip waktu celana itu jatuh dari jemuran. Namun tak disangka ada tiga lembar uang dua ribuan yang masih tersisa usai beli es cekek tadi siang.
"Nih, beli pop mie sana." ia berikan uang itu.
Dalam hidup Aceng yang payah, dipertemukan dengan Edo merupakan keajaiban. Edo adalah anak tetangga yang jadi primadona kampung. Orang tuanya masih lengkap dan ia juga disayang, namun entah kenapa Edo suka main dengannya, si sebatang kara yang hanya kerja jadi tukang parkir di pasar dan sesekali kalau ada acara seperti pasar malam atau festival musik.
Meski tak ada yang lebih kental dari darah, Aceng menyayangi Edo seperti adiknya sendiri. Ia ingin membuat Edo merasa bahwa lelaki itu bisa mengandalkan dirinya sebagai Abang. Namun pemikiran itu selalu membuat rasa sesak di dadanya mencuat. Aceng masih ingat kali pertamanya menginjakkan kakinya di Kampung Baru ini. Ia kecil dan sendirian di dunia yang licik nan kejam. Namun jika diingat sekarang, hati mungilnya yang polos itu sudah kotor. Hidup di dunia yang jelek pasti membuat hatinya ikut jadi nista sebagaimana adanya.
Sebenarnya dadanya sesak sejak pagi. Cuaca dingin dengan hujan yang lembab bukan sahabat buat manusia yang memiliki permasalahan dalam sistem pernapasan sepertinya. Namun sebisa mungkin ia menahan ritme napas karena ada Edo-itu yang pertama, dan kedua karena obat serta inhalernya sudah habis semua.
"Uhuk..." Ia terbatuk dan beranjak dengan malas ke dapur untuk mengambil air. Kumat lagi, deh!
Hari itu, lima belas tahun lalu, ia masih berusia lima tahun. Ia ingat benar, itu hari Rabu tanggal 18 Februari. Ia menggunakan baju kuning bergambar Nobita, salah satu karakter dari Doraemon yang ia suka. Di tangannya ia memegang tamiya murahan hasil dari mengumpulkan seluruh kemasan YOSAN. Sang ibu baru saja berbelanja sayur kangkung dan brokoli. Aceng memang naif, kerinduan pada afeksi sang ibu yang membuatnya begini. Ia tahu benar, sang ibu tak menyukai keberadaannya. Tapi apa harus membawakan brokoli dan kangkung sekaligus.
KAMU SEDANG MEMBACA
jagad raya
Short StoryDalam manusia ada masa ketika cita diganti harap dan putus asa, menggerakkan poros luka, sesekali tertawa. Apa sih hidup itu selain selingan saja, lagipula lahir memang untuk mati. ⚠Cerpen yang dibuat dengan penuh ketiba-tibaan dan kegelapan.