Delusi Molek

20 1 0
                                    

Hari beringsut cepat seperti balapan dengan entah hal apa yang membuatnya begitu tergesa menuju peraduan. Membuai seperti Nina Bobo yang ditafsir sebagai lagu pengantar tidur subliminal. Manusia menyadari cepatnya gulir waktu dan mengasumsikannya sebagai pertanda datangnya hari akhir yang makin dekat. Mungkin sebentar lagi Dajjal akan berkeliaran dan Sang Juru Selamat turun begitu gagah dari langit untuk memeranginya. Lalu sisanya menikmati hidup sama terburunya oleh waktu. Seterburu anak-anak yang harus beranjak dewasa, menua sembari mencerna sisi kanaknya.


Namun ada yang selalu stagnan di tempat. Konstan, seperti si kurus yang mengayuh sepeda bututnya pulang dari kota. Lampu temaram desa sudah mati digantikan sinar surya malu-malu di ufuk timur. Adzan subuh telah berkumandang satu jam lalu, tapi ia belum menunaikan kewajiban sekalipun sudah banyak masjid yang dilewati sepanjang jalan pulang. Sembari mengayuh di tanjakan, ia terengah sementara pikirannya melayang pada hari-hari baik yang di sana ia letakkan pengharapan. Katanya memang dalam hidup harus terus bertawakkal dan mengasah rasa lapang. Sabar meski jarum waktu menikam banyak hal yang didamba hati kecilnya.

"Ngopi, Lik!" basa-basi dulayangkan pada Lik Man, penunggu warung Kang Woto yang seperti tak pernah pulang.

"Golek anget-angetan, Lih. (Cari yang hangat-hangat, Lih.)"

"Ati-ati mengko kenek asam lambung koyo Yu Tami! (Hati-hati nanti kena asam lambung seperti Yu Tami)!" ucapnya sambil lalu mengayuh pedal lagi.

Lik Man selalu sudah ngibrit ke warung pagi-pagi. Memangnya Yu Tami tidak memasak atau Lik Man saja yang dongkol atau mungkin ada riuh dalam rumah tangga orang tua Mari itu? Yah, kenapa pula ia memikirkan hidup orang lain, dirinya saja kacau. Hanya ada sekarung goni rongsokan yang nanti akan ia bawa ke rumah Gale untuk ditukar dengan rupiah. Padahal kalau pulang pagi begini biasanya ia bisa mendapat sampai tiga karung rongsokan. Sayang, hari tak selalu ramah pada pemulung sepertinya. Untung, diingatnya sisa beras tiga hari lalu masih ada. Kalau soal lauk, nanti Galih bisalah berusaha. Entah mengais bayam di sisa lahan terong Budhe Sulami atau melipir ke belakang rumah untuk memetik kenikir dan luntas. Kalau tidak, bisa jadi mencari buah pepaya muda dan daunnya di pinggir sungai, untuk disayur dengan santan dan buat kulupan pakai kelapa yang pohonnya entah milik siapa itu. Masa bodohlah dengan problem Lik Man dan Yu Tami yang mungkin juga melibatkan Mari serta gundukan hutang ngopi pagi sampai makan malam di warung Kang Woto.

Setibanya di Rumah Joglo berlatar luas dengan pohon mangga manalagi di sisi kiri dekat kebun dan jambu darsono di kubu kanan, lelaki itu berhenti, memakirkan sepeda tanpa remnya. Dipanggulah karung berisi sampah penghidupan itu lalu duduk menghela napas lelah pada kursi kayu renta di teras sembari mengamati kuningnya mentari pagi. Entah hidup miskin atau caranya memandang hidup yang bisa disalahkan. Galih sebenarnya merasa baik-baik saja asal bisa makan setiap hari. Mimpinya tak muluk, hanya ingin sekolah dan memastikan sesuatu yang rasanya selalu menghujam dada menghantui malam terkait bisa tidaknya ia tak menjadi dewasa. Meski hanya mendapat lima ribu rupiah sehari pun tak apa. Toh nasi tumpang di warung Kang Woto harganya dua ribu rupiah per porsi.

"Le! (Panggilan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Jawa)" panggil ibunya dari dalam.

Si kurus beringsut masuk mendengar suara lembut sang ibu. "Assalamualaikum, Bu!"

Dikecupnya punggung tangan keriput sang ibu dengan makhdum dan hati-hati, penuh sayang, lembut seolah akan segera hilang. "Waalaikumsalam, baru pulang, Le?"

"Inggih (iya), Bu. Maaf hari ini cuma dapat sedikit." Basa-basi hangat dari ibu sudah menjadi sarapannya tiap pagi tapi dari ikatan antara ibu dan anak yang lekat itu Galih tahu hari ini akan berbeda.

"Sudah tidak apa-apa. Sini!"

Sang ibu mengajak putranya duduk pada lantai semen beralas karpet flanel hijau lusuh yang diberi tetangga sebelah. "Begini, daripada kamu kelelahan menggantungkan nafkah pada sesuatu yang tidak pasti. Bagaimana kalau coba ikut Gale saja?"

jagad rayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang