Rekomendasi lagu: Home oleh Catie Turner
Tanggal 10 Oktober 2020.
Sudah seratus dua puluh tiga hari aku tidak menyentuh musik. Ralat, sudah seratus dua puluh tiga hari aku tidak menghasilkan musik apa pun. Bersenandung pun tidak. Meski, aku masih belum bisa menyerahkan mendengarkan musik.
Dunia rasanya terlalu monokrom tanpa musik. Hanya guratan hitam di atas kanvas putih. Membosankan. Monoton.
Kuperhatikan ujung-ujung jemariku. Dalam imajinasiku, terdapat percikan warna-warna muncul mengikuti gerakan tanganku. Dahulu –Oke, kata 'dahulu' terlalu lebay –seratus dua puluh tiga hari yang lalu, aku dapat mewarnai dunia melalui musikku. Setiap kali aku memainkan piano atau gitar atau bahkan bernyanyi, perlahan warna-warna keluar dari jemariku. Spektrum-spektrum cahaya itu meresap ke dalam setiap hal di sekitarku, membuat kanvas monokrom dunia menjadi suatu karya penuh warna. Membuat pelangi di dunia imajinasiku.
Tentu, aku menyadari warna-warna itu hanya berada di imajinasiku. Aku tahu itu. Aku tidak gila. Tapi apa salahnya berimajinasi? Apalagi bila imajinasi itu membuat dunia lebih mudah untuk ditinggali bagiku?
Musik menjadikan duniaku penuh warna. Musik membebaskan jiwaku. Dan menjadi jangkarku di dunia yang tidak begitu menerimaku entah apa alasannya. Musik memberiku kesempatan untuk membuat duniaku sendiri.
Tetapi seratus dua puluh tiga hari yang lalu, aku memutuskan untuk berhenti mewarnai duniaku lagi. Semua karena dirinya. Dia pikir warna-warna yang kubuat di dunia ini memiliki arti lain. Dia pikir dia mengetahui diriku yang sebenarnya. Dia, yang berwarna merah di duniaku. Kita sebut saja dia dengan Merah.
"Kau adalah pelangi, Milo," katanya.
Tapi Merah salah.
Aku masih normal.
Aku normal, kan?
Kugelengkan kepalaku. Aku harus berhenti memikirkan warna-warna itu. Harus berhenti memikirkan dia. Dan aku harus berhenti merasa rindu akan ... warna-warna itu. Rasanya sangat sesak untuk hidup tanpa warna, seperti kehilangan rumahmu. Tetapi bila rumahmu itu bukanlah rumah yang sesuai kaidah norma ... bukankah selayaknya aku menjauhi rumah itu?
Aku ingin pulang ke warna-warna itu.
Aku tidak boleh merindukan warna-warna itu. Tidak boleh merindukan musik. Karena bila aku bermain musik, satu-satunya warna yang ingin kubuat adalah Merah.
Ponselku berdering di samping tempat tidurku menandakan sudah pukul enam pagi. Sebenarnya aku sudah terbangun dari dua jam yang lalu. Jumlah malam di mana aku tidak dapat tidur tenang pun bertambah. Malam kemarin menjadi malam ke-seratus dua puluh tiga.
Aku menghembuskan satu napas berat sebelum akhirnya mengambil ponsel itu dan mematikan alarm. Ponselku berwarna hitam. Kulihat langit-langit kamarku. Putih. Lampu kamarku? Putih. Tanganku? Di duniaku warnanya juga putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sophrosyne: Everyone is Not Okay and That is Okay
Teen FictionNana : Aku punya kekuatan pendengaran yang hebat. Terkadang aku juga dapat membaca pikiran seseorang. Milo : Pelangi muncul setiap kali aku bermain musik. Tetapi dia datang dalam hidupku. Dan aku menjadi takut dengan nada dan warna yang berasal da...