01 | In the living room

2.1K 183 26
                                    

In the Living Room

.
.
.

Ruang keluarga merupakan tempat ternyaman kedua di rumah setelah kamar pribadi. Di ruang ini seluruh anggota keluarga berkumpul. Melepas penat setelah seharian bekerja. Menumpahkan semua keluh kesah selama di sekolah. Lalu menghabiskan waktu bersama menonton acara televisi kesukaaan. Di sini lah semua kenangan dari setiap anggota keluarga terukir.

Sama halnya dengan sebuah keluarga kecil di salah satuk kompleks perumahan ibu kota. Seorang ibu rumah tangga sedang berkutat di balik meja makanㅡmenyiapkan camilan untuk seluruh anggota keluarganya. Dua anak laki-lakinya yang kini tengah memasuki usia dewasa awal dan penuh rasa penasaran sedari tadi sibuk memperebutkan remot televisi dengan kedua kaki mereka.

"Bun ... kak Mark nih gak ada mau ngalah sama adek," rengek si anak bungsu. Orang yang dituju tidak menggubris rengekan anaknya. Jari-jari lentiknya masih terlalu sibuk berkutat dengan potongan cookies yang baru matang.

Mengetahui jika si adik tidak dihiraukan oleh ratu dari Blok N nomor 127, Mark yang berperan sebagai kakak tertua kembali berinisiatif untuk mengganggu adik semata wayanganya itu. Kini sebuah bantal yang sengaja Haechan letakkan untuk menyangga punggungnya yang pegal perlahan ditarik oleh Mark. Haechan yang sedang fokus memepekerjakan deretan giginya untuk menghaluskan beberapa potong potato chips tidak menyadari akal mulus dari Mark.

Buk!

"Kakak! Sakit ya Tuhan... ," lirihnya. Ia mengusap punggungnya yang terbentur sandaran sofa.

"Udah ... udah. Berantemnya selesai, ini dimakan dulu cookies-nya numpung masih hangat." Buna sang penyelamat. Begitu kurang lebih gelar yang Haechan sematkan untuk bunda tercinta saat ini.

"Bun," panggil Mark. Mulutnya masih penuh dengan potongan cookies dan juga chocochips yang menari-nari di dalamnya. Membuat Zanna sedikit tidak mendengar panggilan anak sulungnya.

"Kenapa, Kak?"

Mark menoleh ke arah jarum jam sesaat. Memastikan jika ini waktu yang tepat untuk menyampaikan pertanyaannya. "Ayah kok belum sampe, ya? Padahal kan ini hari Sabtu."

Zanna yang saat ini sedang bersandar di bahu Haechan melirik Mark. Matanya ikut tertuju pada jam dinding yang bertengger beberapa jarak di atas televisi. Kemudian tangannya masuk ke dalam bungkus potato chips yang dipegang si bungsu dan membiarkan giginya untuk menghaluskan remahan potato chips itu sebelum masuk ke ususnya. "Ayah tadi bilang sama Buna kalo hari ini pulang telat. Katanya ada meeting sama klien dari Singapura. Harusnya sih sebentar lagi sampe, mungkin macet kali di jalan."

"Dek." Kini Zanna beralih pada Haechan. Anaknya itu menoleh menatapnya dengan keadaan sisa remahan potato chips yang tertinggal di pinggir mulutnya. Zanna yang tidak suka melihatnya langsung mengusap pelan sisi bibir Haechan. "Kalo makan tuh yang bener. Udah gede juga masih aja berantakan," omel Zanna.

"Iya maaf, Bun," ucap si bungsu lemah. "Buna ada apa panggil Adek?"

"Kamu tuh udah mandi belum, sih?"

Haechan yang ditanya seperti itu oleh sang Bunda mengangkat tangan kanannya dan mengendus ketiaknya. Mencoba memastikan jika apa yang dirasakan Bundanya tidaklah benar. "Udah kok. Ini masih wangi ketek Adek," belanya.

"Tapi kok mukanya sama aja, ya? Masih ada aura suntuk gitu."

Haechan diam. Ia memutar bola matanya malas. Dirinya tahu betul jika sekarang Bundanya sedang menggoda dirinya. Terlihat jelas jika bibir Zanna berusaha menahan tawa agar tidak keluar.

In the Living Room | Johnny Suh, Mark Lee, and Haechan Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang