[4] Penjara Putih

3.1K 413 90
                                    

Ben tidak pernah benar-benar iri dengan apa yang orang lain miliki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ben tidak pernah benar-benar iri dengan apa yang orang lain miliki. Ia hanya heran, mengapa bernapas saja seberat dan sesakit ini? Mengapa ia harus membayar udara yang dibagikan secara gratis ke semua orang? Dan ..., mengapa pula harus dirinya yang menerima bakteri sialan itu?

Sekian menit berpisah dari nasal kanul tak berbeda jauh dengan mencekiknya. Melewatkan terapi untuk mengeluarkan lendir sialan itu sama halnya dengan bunuh diri. Namun, menelan berbagai macam obat, suplemen, dan antibiotik-lah yang paling Ben keluhkan. Warna-warni puluhan pil itu tidak membuatnya lebih baik.

Laki-laki itu duduk bersandar, menatap mereka tak acuh. Panas-dingin yang ia rasakan memblokir nafsunya untuk bermesraan dengan apa pun. Baik itu pil, maupun rompi yang mempermudah hidupnya.

Tidak hanya Ben, melainkan kedua orang tuanya, Bina dan dokter yang merawatnya sejak lama kompak menatap sosok plus treatment tersebut. Bedanya, setiap tatapan mereka memiliki aura yang berbeda. Teduh, sesal, dan khawatir.

"Berapa kali Dokter harus bilang, Ben? Ini musim hujan, nggak seharusnya kamu kelayapan kayak kemarin. Tanpa izin pula."

Setiap tarikan yang Ben lakukan seolah menyayat hidung sampai dada. Sesal dan sesak yang berkerumun membuat degupnya bermaraton. Sekuat tenaga ia mencengkeram selimut tipis bermotif doraemon milik Bina. Kemudian menatap sosok perempuan berhijab yang menautkan alis.

"Emang kalau izin bakal dibolehin?"

"Ben!" bentak Dimas, ayah duo B.

Bukan Ben, melainkan Bina yang tersentak. Gadis itu sampai menarik baju sang kakak yang duduk di sampingnya, lalu menggenggam erat. Melihat Bina terus gemetar dan menggigit bibir, Ben pun meraih tangan gadis tersebut dan menghangatkannya di balik selimut.

"Iya, Yah. Ben tau kalau ini salah. Ben juga udah minta maaf, tapi Dokter terus membahasnya."

"Itu karena--"

"Dokter juga udah tau alasan Ben senekat itu, tapi masih terus mengungkitnya," potong lelaki itu dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. "Sopan santun juga ada batasnya, kan, Yah?"

"Benjamin!"

"Sudah, Pak." Dokter yang menghela napas dan sempat menunduk pun menengahi.

Iris cokelat Ben bertemu dengan milik dokternya. Mereka saling tatap cukup lama tanpa sepatah kata yang terucap. Wanita itu hanya tersenyum tipis, seakan memaklumi dan menyudahi situasi ini. Rona merah padam di rautnya perlahan memudar.

"Setelah ini, Dokter harap Ben lebih menjaga kesehatan. Mulai besok, kami meresepkan antibiotik baru yang dikirim dari Singapura. Kamu juga tau itu, kan, Ben? Hanya dua pasien di sini yang berkesempatan mendapatkannya. Jadi, harus dimanfaatkan dengan baik. Kalau kamu drop, semua bakal kacau."

Hidup yang Saya Tuju Sedang Tidak Aktif ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang