Chapter 02

1.1K 216 14
                                    

Happy Reading!

***

Sudah dua hari dia berjemur selama satu jam di bangku taman, kali ini dia tidak juga bosan menunggu. Orang yang ditunggunya tidak juga datang, sesekali dia melirik kanan-kiri.

Mungkinkah dia menghampiri? Ya, sepertinya harus seperti itu untuk tahu penyebab orang tersebut tidak datang.

Dia melangkah sambil membawa infus dan dua buah benda, matanya mulai gencar untuk memeriksa nomor kamar. Arafah I kamar nomor tiga belas, dia merasa ini tujuannya.

Benar saja! Begitu dia membuka pintu, tampak orang yang dicari sedang termenung. Kamar itu begitu gelap, tanpa izin dia menghidupkan lampu.

"Matikan!" titah gadis itu, tetapi tidak ditanggapi.

Dia mendekati gadis tersebut lalu menarik kursi, dengan santainya dia mengambil air dalam botol yang masih tertutup. Tidak dihiraukannya mata yang begitu tajam menatap, terpenting rasa dahaganya hilang.

"Matikan lagi lampunya! Biarkan ruangan ini gelap!" Angel melipat kedua tangannya, tidak ada ekspresi sama sekali.

"Segelap hatimu yang membenci penyakit ini?" tanya Hero.

Semalam Hero tidak sengaja mendengar percakapan Angel dan cermin, curhat tentang rasa bencinya pada penyakit yang diderita. Pada saat itu ia sedang menelusuri isi rumah sakit, terhenti di depan pintu kamar karena mendengar suara Angel.

"Hari ini aku tidak membenci leukemia, hari ini aku benci diriku sendiri yang selalu menyusahkan mama dan papa. Seandainya bukan aku yang terlahir, mungkin mama dan papa bahagia memiliki anak sempurna."

"Kenapa seandainya bukan kamu? Tuhan telah mentakdirkan kamu untuk hidup, bersyukurlah karena diberi kesempatan bernapas. Bukan seperti ini," ujar Hero.

Dalam hati Angel ingin sekali bertanya pada Tuhan, mengapa ia diizinkan bernapas jika hanya untuk menyusahkan? Mengapa ia hidup jika hanya untuk menunggu kematian? Bukankah sebaiknya dia mati saja, dengan begitu orang tuanya akan hidup lebih baik.

"Aku lihat kamu selalu tersenyum, apakah tidak merasa kesal dengan takdir ini?" tanya Angel.

Diam-diam gadis itu juga memperhatikan Hero, dari kejauhan masih saja terlihat senyuman dari cowok itu. Dia juga pernah melihat mata Hero berkaca-kaca, tetapi terus menampilkan senyuman.

Terasa heran menurut Angel. Di kala orang sedih karena penyakit yang diderita, Hero dengan senyuman memperlihatkan kalau dia tidak apa-apa.

"Untuk apa kesal? Gak ada gunanya, kan? Lagi pula senyuman bisa membuat kedua orang tuaku tidak cemas. Malah kalau kita kesal dan sedih, justru merepotkan orang tua," jawab Hero mengambil nampan di atas meja. Dia juga ingin memakannya?

"Aku Hero. Pahlawan ya artinya? Tapi gak pernah membantu. Ya ... setidaknya aku tidak ingin membuat siapapun terbebani."

Angel tertegun, pemikiran cowok ini sangat berbeda dengannya. Tanpa sadar dari tadi ia menerima suapan Hero, padahal ia tidak ingin menyentuh makanan itu sama sekali.

Hingga suapan terakhir, gadis itu baru sadar. Matanya menyipit sedangkan cowok di depannya tersenyum miring, ingin sekali dia menghantam Hero.

"Minum obatnya!" perintah Hero.

"Pahit, lagi pula dengan tidak makan obat aku cepat mati. Tidak ada gunanya aku hidup," tolaknya sambil mengalihkan arah muka ke langit-langit ruangan.

Album Biru [Tamat]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang