Chapter 05

634 127 12
                                    

Ventilator dilepaskannya dari wajah, perlahan dia bangkit dan mencoba memfokuskan pandangan. Pukul empat sore, apa yang dia tertidur sampai sore?

Ruangannya kok berubah? Aku berada di kamar siapa?

Tubuhnya begitu lemah, tetapi tidak seharusnya seperti ini. Pasti ada yang kecewa karena tidak ditemui, cepat dia berjalan.

Mungkin kaki belum bersedia, dia terjatuh dan sikunya menghantam keras lantai. Tidak boleh lemah! Dia coba lagi berjalan perlahan sambil menahan ke dinding.

Dia mencari sekeliling rumah sakit, tempatnya sekarang sangat jauh dari sebelumnya. Di mana dia harus mencari si penanti janjinya?

Tidak ada tempat lain kecuali di sana, tempat paling mudah mendapatkan sejuta senyuman. Langkahnya berputar sembilan puluh derajat.

Benar saja, orang yang dicarinya berada di ruangan bermain untuk anak-anak yang dirawat. Senyumnya merekah ketika salah satu anak kecil memeluknya, dia mengangkat dan menggendong.

Entah dari mana kekuatannya tiba-tiba berasal, mungkin dari senyuman kecil yang menyambutnya. Dirinya terasa lebih segar sekarang.

"Kak Hero dua hari ini kemana aja? Kok baru muncul? Dimas jadi rindu."

Sontak mata Hero membulat sempurna, bukankah ia baru tidur pagi sampai sore ini? Mengapa sampai bisa dua hari? Mungkin anak kecil ini terlalu rindu sampai berkata seperti itu.

Dia menggeleng pelan untuk berhenti memikirkan hal aneh, cepat dia berbaur kepada anak-anak kecil dengan bermacam penyakit. Mereka mempunyai keistimewaan masing-masing, itu menurutnya.

Namun, dia merasa aneh dengan Angel yang tidak mau menegur. Jangankan untuk mengatakan hay, melirik aja enggan. Begitu besarkah kesalahannya hingga gadis itu.

***

"Angel, tunggu!" seru Hero sambil mengejar langkah gadis itu.

Padahal sudah ingin pingsan, tetapi dia tahan agar bisa meminta maaf jika punya salah. Hari ini tubuhnya dua kali lipat lebih cepat lelah, bahkan mimisannya terasa lain dari sebelumnya.

Angel menghentikan langkahnya sambil berbalik badan, matanya menyipit ketika Hero ngos-ngosan. Sungguh dalam hatinya sangat perih melihat keadaan cowok itu, semakin pucat saja.

"Kenapa Kakak hilang selama tiga hari ini? Kemana Kakak? Mengapa Angel gak temukan di kamar nomor dua puluh tiga? Kakak sengaja menghindar?" tanya Angel terus-menerus.

Hero mengerutkan dahinya, tadi dua hari dan sekarang tiga hari. Lebih anehnya lagi Angel memanggil kakak, tidur telah membuatnya ketinggalan banyak.

"Aku tidur cuman beberapa jam," jawab Hero.

Gadis itu memperlihatkan jam tangannya yang terdapat kalender otomatis. Benar, sudah tiga hari dilewatkan hanya dengan tidur.

"Dan kenapa Kakak bohong soal usia?"

"Karena aku tidak mau terasa canggung, terlebih lagi saat kamu bilang ...." Hero mengambil napasnya perlahan lalu melanjutkan ucapannya, "Kamu suka dengan seorang yang lebih dewasa dan bisa bikin kamu tersenyum."

"Apa masalahnya?!"

"Aku tidak ingin kamu menganggap lebih perhatianku. Aku ingin kita sebatas teman," jujur Hero menatap lurus bola mata Angel.

Perlahan pandangan gadis itu menurun, dia salah mengira perasaan itu selama ini. Mereka hanya sebatas teman, tidak lebih dari apapun.

Salahkah jika perasaan ini lebih? Angel sudah menganggap Hero lebih dari teman, lebih dari kata sahabat. Selama ini hanya cowok itu yang bisa membuatnya nyaman.

Album biru dan kamera polaroid di pelukannya beralih, dia serahkan secara ikhlas kembali ke tangan si pemilik. Air mata turun, tetapi senyumnya terukir indah.

"Maaf, Kak. Angel sudah menganggap Kakak lebih dari kata teman. Daripada perasaan ini berlanjut, lebih baik sampai sini saja kisah album biru kita." Angel menahan suara tangisannya, tetapi malah semakin terdengar keras.

Hero menatap nanar ke arah album itu lalu wajah gadis yang sudah memerah dan dipenuhi air mata. Dirinya sudah jahat membuat orang menangis, setelah ia menciptakan kenyamanan.

"Asal Kakak tau, sejak awal Angel sayang banget sama Kak Hero. Dari pertama kita mulai, Angel sudah menganggap Kakak sebagai ... saudara kandung."

"Saudara kandung?"

Angel mengangguk pelan. "Iya, sayangnya kita tidak lebih dari teman 'kan?"

Hening selama lima menit, sampai akhirnya tawa Hero menggelegar. Apa yang dia pikirkan hingga menganggap ada cinta di antara mereka? Namun, bukankah itu bagus sesuai harapannya.

Sementara Angel mengusap air matanya kasar, aneh bin ajaib sikap Hero. Matanya tertuju pada siku cowok itu yang memar, ia menyentuh dan berhasil membuat tawa keras itu berhenti.

"Boleh Angel sembuhkan sebelum kita saling pergi?" tanyanya menunjuk memar itu.

Hero menggeleng dan mengacak rambut Angel pelan, biarkan ia bersihkan sendiri. Ia mengambil foto wajah gadis itu, lalu memasukkan ke dalam album.

"Selamat tinggal, Kak!" Angel melangkahkan kakinya untuk pergi, tetapi tangannya dicekal.

"Jangan katakan selamat tinggal, tapi sampai jumpa. Kita akan berjumpa lagi 'kan?"

"Tapi---"

"Aku juga menganggapmu sebagai adik kandung, berarti kisah kita akan terus berlanjut," potong Hero sambil melepaskan tangan Angel perlahan.

Cewek itu tidak dapat menahan air mata bahagia, dia melangkah dan memeluk orang yang sudah menjadi bagian hidupnya.

***

"HERO!" bentak pria tinggi yang duduk di sofa kamar.

Hero yang baru saja datang menyapa dengan senyuman, ia tahu akan terjadi sesuatu jika ayahnya sudah marah. Sebelum itu ibundanya memeluk terlebih dahulu, melindungi dari kemarahan pria tersebut.

"Sayang, kamu istirahat! Jangan pergi dulu ke mana-mana!" Wanita paruh baya itu mengusap rambut putra semata wayangnya.

"Tapi, Bunda. Angel butuh aku untuk terus menemaninya, aku sudah berjanji untuk terus mengisi lembaran album itu."

"Pikirkan dirimu sendiri dahulu!" bentak Geri.

"Enggak bisa, Yah. Hero gak mau lagi kehilangan Angel seperti Chaca hanya karena memikirkan diri sendiri! Hero udah menganggap Angel seperti Chaca, adik Hero," tolaknya mengungkit lagi tentang adik kembarnya.

Geri tidak lagi dapat berkata-kata jika sudah menyangkut Chaca. Seucap kata tentang gadis kecil itu menyakiti, bisa membuat Hero menangis.

***

Angel menatap cermin sudah hampir satu jam, ia tersenyum sambil melepas rambut palsu. Tinggal beberapa helai yang tersisa, ia malu jika nanti botak.

Lagi-lagi gugur rambutnya, lagi-lagi mimisan hidungnya. Namun, mengapa dia lupa caranya untuk benci diri sendiri? Mengapa malah senyuman yang terukir di bibir?

Suara knop pintu mengejutkannya, cepat dia menyembunyikan cermin dan berpura-pura tidur. Kedua orang tuanya mendekat sambil memberi kecupan selamat malam.

"Mama sayang sama kamu, Nak," ucap Yanti.

"Papa juga sayang banget sama kamu," sambung pria itu.

Bersambung ....

Album Biru [Tamat]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang