BAB 1 - Winter Disaster

298 24 5
                                    


"Lass mich gehen!"

Gadis berambut merah itu menggeliat, berusaha melepaskan diri dari rantai berwujud cahaya merah yang membelit tubuhnya. Kemeja putihnya tampak lusuh dengan bercak tanah yang menempel pada beberapa bagian. Tangannya berusaha merenggangkan rantai, tetapi gerakan itu malah menyebabkan tubuh kurusnya seperti tersengat listrik.

Lily James, gadis dengan surai merah itu menyerah. Bahunya terkulai lemas tak berdaya. Netra cokelatnya bergerak mengamati sudut-sudut ruangan yang dikelilingi dinding tua berlumut serta terali besi yang berkarat. "Efron, apa kau tak bisa melepas rantai ini dengan sihirmu?" bisik Lily pada lelaki yang ikut dirantai bersamanya.

Manik kelabu dari lelaki yang dipanggil Efron itu menatap Lily sejenak, lalu beralih pada langit-langit yang dipenuhi jaring laba-laba. "Percuma, rantai ini terlalu kuat dan menyerap energi. Mantraku sama sekali tak berfungsi," jelas Efron. Biasanya Efron yang paling lihai mengatasi situasi darurat yang terjadi pada mereka bertiga. Itu karena ia terlahir dari ras penyihir, membuatnya menguasai beberapa mantra sihir  dengan mudah dibandingkan siswa lainnya.

Sudah lebih dari sepuluh jam Lily bersama Maya Calliston dan Efron, terkurung dalam ruangan lembap itu. Seandainya semalam ia bergerak lebih cepat, sudah pasti tak akan terjebak di sini.

Menyandarkan punggung pada dinding, Lily memejamkan mata. Pikirannya sibuk membayangkan hal terburuk yang mungkin sebentar lagi akan menimpanya. Ia sungguh menyesal telah menyeret dua sahabatnya masuk ke dalam masalah yang ia ciptakan. Lebih tepatnya karena kecerobohannnya.

"Ini bukan salahmu, Lily."

Suara lirih Maya membuat Lily terperanjat. Seperti biasa, Maya selalu bisa membaca pikiran orang. Ia memiliki sensor khusus yang dapat mendeteksi aura di sekitarnya.

"Memangnya siapa yang merasa bersalah?" tanya Lily, disambut tawa kecil dari Maya.

"Kau. Memangnya aku menyebut nama yang lain tadi?"

"Tidak, aku tidak—"

"Bahkan aku tahu kalau kau sedang menahan pipis," ucap Maya enteng dengan menaik-turunkan alisnya.

Lily memutar bola matanya malas. Perutnya memang selalu bereaksi demikian ketika panik. Jangankan Maya, hampir seluruh siswa di kelasnya pun tahu kebiasaan Lily yang satu itu.

Hampir saja Lily akan menendang kaki kedua temannya karena berani menertawakannya. Namun sebelum itu terjadi, seorang wanita dengan mantel bulu yang melingkupi tubuhnya tiba-tiba muncul di hadapan mereka entah dari mana. Membuat Lily terperanjat untuk kedua kali.

"Bisa-bisanya kalian bergurau dalam keadaan seperti ini," ucap wanita itu sembari menggeleng. Menghela napas, ia menatap anak didiknya satu per satu. Saat tatapannya tertuju pada Lily, ia melototi gadis merah itu. "Nona James, sudah berapa kali saya memintamu untuk tak membuat masalah?"

"Maaf, Ma'am, aku menyesal. Tapi sungguh, kami tidak melakukan seperti yang dituduhkan."

Aimer Venmaris hanya mengendikkan bahu, tak peduli. Rasanya ia tak bisa percaya pada gadis ini lagi. "Katakan nanti di hadapan seluruh penghuni Akademi. Tugasku hanya mengantar kalian menuju Aula."

Detik berikutnya, bibir Aimer bergerak merapalkan mantra. Semburat hijau muncul mengelilingi penjuru ruangan. Hingga perlahan menyebabkan tembok-tembok berlumut serta terali besi berkarat itu lenyap, digantikan dengan ruangan penuh rak besar dengan buku-buku yang berjejer rapi.

Jadi ... penjara tadi itu hanya ilusi?

***

Musim dingin baru saja bermula. Seharusnya semua penghuni Maple Akademi sedang menikmati liburan masing-masing. Namun, hampir di seluruh penjuru koridor ramai dengan orang-orang dengan jas juga jubah oranye hari ini. Mereka diminta berkumpul di Aula. Raut kebingungan tercetak jelas, mengingat Aula adalah tempat khusus untuk acara penting dan resmi.

Lily merasakan tubuhnya menggigil. Entah karena suhu yang rendah serta ia sama sekali tak mengenakan mantel atau karena rasa gugup bercampur takut yang sedang melandanya. Diembuskannya napas berkali-kali. Mencoba menghalau segala kecemasan yang bernaung dalam hati.

"Tenanglah, Lily, semua akan baik-baik saja," kata Maya berusaha menenangkan. Namun, tidak dengan nada suaranya. Jelas sekali gadis itu juga merasa was-was. Padahal biasanya Maya selalu yakin dan tegas dalam mengucap kalimatnya. Maya jelas lebih paham apa yang akan terjadi setelah ini. Everything's not gonna be okay.

"Balls-up!" umpat Efron pelan, tetapi masih terdengar oleh Lily dan Maya. Mereka paham betul bahwa Efron adalah yang paling semangat berada di Maple High School Academy ini. Entah apa alasannya, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik selama ini.

"Maaf." gumam Lily tanpa sadar.

Keadaan menjadi hening ketika sepasang kaki tegap mulai menaiki podium. Seorang pria dengan raut tegas itu memegang dua bilah kayu yang saling menempel di tangannya. Saat dibuka, kayu tersebut memunculkan cahaya putih seperti sebuah layar.

"Saya sangat menyayangkan atas kejadian ini," ucapnya sebelum menatap layar yang dipegangnya.

"Pencurian patung kayu berambut emas, Sif, dari Museum oleh tiga siswa Maple High School Academy yang bernama Efron, Lily James, dan Maya Calliston."

Lily berusaha menulikan pendengarannya. Tidak, ia tak melakukan itu. Tubuhnya kembali menggigil, takut. Suasana yang sebelumnya sempat hening menjadi ramai dengan bisik-bisik dari siswa-siswi yang bergerombol. Beberapa dari mereka menatap tak percaya kepada tiga siswa yang berdiri dengan rantai di tubuhnya itu.

Suara dehaman menginterupsi. Pria di podium kembali mengangkat suara. "Saya, James Dakotta, mewakili seluruh jajaran staff dan guru. Dengan ini menyatakan bahwa ...." James Dakotta sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengamati tiga tahanan yang akan dijatuhi hukuman di hadapannya.

Tidak. Lily benar-benar tak siap mendengarnya. Memejamkan mata, ia berharap ini hanyalah mimpi buruk. Saat ia terbangun nanti, semua akan berjalan seperti biasa. Lily bersumpah demi apa pun bahwa ia tak mencuri. Sama sekali tidak. Ia merasakan perutnya bergejolak, kandung kemihnya terasa penuh.

Maya berusaha meraih tangan Lily. Menyalurkan energi positif, meskipun ia sendiri juga merasa ketakutan. Digigitnya bibir, berusaha menahan getaran di tubuhnya.

Bukalah matamu dan tegakkan kepala jika kau tak bersalah.

Suara itu terdengar sangat akrab di telinga Lily. Ia mengedarkan pandangan, tetapi tak menemukan sosok yang dicari.

Aku di sini, bersama kalian.

Suara itu datang kembali. Terasa semakin dekat.

"Lily, kau mendengarnya tidak?" bisik Maya.

"Kalian mendengarnya juga? Kukira hanya halusinasiku saja," tanya Lily, kemudian diangguki oleh dua sahabatnya.

"Dengan ini saya menyatakan bahwa yang bersangkutan akan dikeluarkan secara tidak terhormat dari Maple—"

"Tunggu!"

Seorang pria dengan jubah hitam panjang berusaha menghentikan ucapan James Dakotta. Di tangannya terdapat bunga dengan ukuran tak biasa serta berkilauan.

"Apa yang kau bawa, Samael?" tanya James terheran.

Samael mengendikkan bahu sembari tersenyum, "Mari kita tanyakan pada pemiliknya," Lalu menatap Lily, "Apa ini, Nona James?"

Lily, Maya dan Efron tampak terkejut dengan apa yang dibawa oleh guru bernama Samael itu.

"I-itu ... Golden Hibiscus, Sir."

Semua mata membola, terutama Aimer Venmaris. Agaknya wanita itu tahu betul dengan Golden Hibiscus yang dimaksud Lily. "Dari mana kau memdapatkannya dan ... bagaimana bisa?" tanya Aimer dengan raut syok. Jelas bunga itu tak bisa didapatkan oleh sembarang orang.

"Aku—"

Ucapan Lily berhenti saat melihat Golden Hibiscus yang dipegang Samael mengeluarkan titik-titik cahaya. Cahaya itu berpendar, lalu berputar-putar seperti pusaran angin.

Everything's gonna be okay.

The Soul Blower (MAPLE ACADEMY YEAR 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang