Pergi 🕊️

512 53 11
                                    

Suara puluhan kaki dan koper tercipta di area tempat Afka berdiri, hari ini adalah hari pemberangkatan dirinya ke Australia, hanya ditemani Zhafran selama dibandara. Keduanya tengah duduk, menunggu panggilan. Sesekali Afka melirik Zhafran yang masih saja mengukir senyum kearahnya.

Rambutnya diusap oleh Zhafran, hal yang bertahun-tahun lamanya tak pernah ia rasakan, dan kini Afka merasakannya. Hanya satu kata yang bisa menjawab usapan itu. Nyaman. Ya, Afka nyaman dengan usapan sang ayah di kepalanya. Tanpa ia sadari, dirinya telah membalas senyum Zhafran.

“Sehat-sehat disana, kalo ada apa-apa, kamu bisa telpon Papah, jangan ragu." Terdengar seperti merayu anak kecil, namun itulah kasih sayang seorang ayah kepada putranya, meski Zhafran melihat pertumbuhan Afka, tapi ketahuilah, dimatanya, Afka itu hanya anak kecil yang selalu merengek minta rumah besar yang berada didekat masjid.

Zhafran tak pernah menuntut kegiatan Afka, tapi jika menyimpang ia harus meluruskan kejalan yang benar, ia tak mau anaknya tersesat. Tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dimana? Jika memimpin anak satu aja tidak becus.

Sedari dulu, tujuan Zhafran mengirim kedua cintanya keluar negri, bukan berarti ia melepas tanggung jawab sebagai figur ayah, melainkan ia ingin melihat putra putrinya mendapat wawasan luas, mendapat ilmu yang bermanfaat.

“Selama di Australia, Afka tidak akan menghubungi siapapun, tak terkecuali."

“Kenapa? Adzra?"

Kemana jalan pikiran pemuda ini? Jelas jika dirinya tidak menghubungi keluarga, Zhafran akan merasa khawatir. Apa perlu dirinya ikut kesana? Menemani Afka selama kuliah. Ah rasanya tidak, terlalu protektif.

“Ya, Adzra 'pun. Afka ingin fokus kuliah, cepat-cepat menyelesaikan semuanya, mulai dari tahap awal, hingga akhir. Afka gak mau mendengar kabar apapun dari kalian, sekalipun kabar baik." Pemuda itu membalas tatapan sang Ayah. "Cukup jaga Adzra dengan baik, Afka percayakan semuanya sama Papah."

Perkataan itu membuat Zhafran bungkam, pria paruh baya itu jadi merasa bersalah dengan pernyataannya kali ini, ia sungguh kasihan melihat sang putra yang akan berpisah dengan cintanya. Tapi, ah tidak, ia tidak boleh goyah, keputusan haruslah keputusan, tak bisa diganggu gugat.

“Hubungi nomer ponsel ini, dia yang akan menemanimu di apartemen." Zhafran memberikan secarik kertas bertulisan angka yang sudah tersusun rapi. “Jangan membantah! Papah mengirim dia supaya Kamu punya teman baik, membantumu kejalan yang benar, bukan malah tersesat," tukasnya saat menyadari Afka akan menolak.

Tak ingin terus berdebat dengan Zhafran, pemuda itu menerima nomor ponsel yang diberikannya. Suara awak kabin telah mengudara, memberi instruksi bahwa para penumpang harus segera masuk kedalam pesawat, karna sebentar lagi pesawat akan berangkat.

"Semoga selamat sampai tujuan."

***

Sebuah mall bagian Jakarta pusat, menjadi salah satu pilihan Adzra kali ini. Sebenarnya dia malas jika harus jalan-jalan dihari liburannya, karna Hayla 'lah yang ngajak dirinya, mau tak mau ia harus pergi.

Melihat seberapa antusias-nya gadis itu, membuat Adzra ikut tersenyum merasakan bahagia. Harusnya dia tidak boleh bermalas-malasan. "Abis ini, Kita kemana lagi?"

Hayla yang tengah melihat suasana mall, mengalihkan pandangan. "Makan, Kita makan siang. Gimana?" Adzra mengangguk setuju. "Eh, sekarang aja makannya, abis itu Kak Adzra harus main kerumah. Ada banyak hal yang harus kakak ketahui tentang Kak Afka, lelaki itu senang jika ada perempuan dikamarnya."

"Hah?"

Hayla memejamkan mata, bicara apa coba barusan. Untung tidak kebablasan, hampir aja. Mungkin jika Afka mendengar perkataannya barusan, sudah dipastikan dirinya mendapat ucapan yang teramat menyakitkan, satu kata yang keluar dari mulut Afka ketika marah sama saja seperti satu silet menggores lidahnya. Hayla ngeri sendiri mengingat hal itu.

Bidadari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang