Lamborghini 🕊️

374 34 9
                                    

Bulir air itu masih setia membahasi kota metropolitan. Semilir angin menambah hawa dingin. Membuat orang-orang semakin mengeratkan pakaiannya. Tangan Adzra terus dihangatkan oleh Afka yang duduk disebelahnya. Laki-laki itu sesekali mengecup tangan sang isteri.

“Masih dingin?” Sebuah anggukan membuat Afka menariknya kedalam dekapan. “Gimana, masih dingin?” katanya dengan menyungging senyum.

“Malu.”

Afka terkekeh mendengar itu. Mau tidak malu bagaimana, orang keduanya tengah berada di restoran dekat rumah sakit tempat Ziad dirawat, tentunya banyak pasang mata yang memperlihatkan mereka. Adzra menenggelamkan wajah pada dada bidang Afka. Disana ia bisa menghirup aroma tubuh sang suami. Tangan Afka terus mengeratkan dekapannya.

“Sepertinya udara malam semakin dingin. Hujan juga tidak mau reda. Kita pulang saja.”

Adzra mendongak tanpa melepas pelukan. “Bagaimana dengan Ziad?”

Ziad sudah satu Minggu berada di rumah sakit, kondisinya semakin parah. Sekarang Ziad sudah tidak masuk makanan lagi, hanya air putih yang bisa mengisi perut kosongnya. Wajah tampan itu sudah tak berdaya, suaranya sudah terdengar lirih. Ziad benar-benar sudah parah.

Setiap kali Adzra dan Afka masuk keruangan itu, ponsel Ziad yang tergeletak di atas nakas selalu bergetar. Ziad benar-benar sudah tidak mempedulikan keluarganya. Pemuda itu juga selalu melarang Afka kala ia ingin memberitahu keberadaannya.

Ziad Avirais Haikmal yang berstatus sebagai presiden mahasiswa itu kini tak bisa lagi bermain dengan proposal, file, dokumen, komputer, naskah, dan organisasi yang di pimpinnya. Ziad tidak bisa lagi memberi arahan untuk para anggotanya. Ziad tidak bisa lagi mengadakan acara kampus seperti baksos, PMI, mencari donatur, dan lain sebagainya. Ziad sekarang hanya bisa bernapas, membuka dan menutup mata, tersenyum walau semar, bergerak 'pun sangat menyulitkannya.

“Kita bisa menjenguknya lagi besok. Sudah ada Bunda disana. Sebenarnya aku kasian liat Bunda, pasti ia sudah lelah menjaga Ziad.”

Adzra melonggarkan pelukannya. Wanita itu meraih tas selempang miliknya yang diletakan di atas meja. “Yaudah kita pulang. Tapi besok sebelum berangkat ke kantor, kamu harus antar aku untuk jaga Ziad, menggantikan Bunda.”

“Dengan senang hati.” Afka berdiri, lalu mengulurkan tangan. Adzra menerimanya. “Gimana kencan malam ini?”

Adzra melirik Afka dengan senyum mengembang. “Senang dong. Pokonya kalo sama Kakak, kemanapun aku bahagia.”

Afka terkekeh. “Benarkah?”

“Tentu.”

Afka menerobos hujan membawa mobil sport berwarna putih itu menuju rumah. Makin malam udara semakin terasa menusuk. Mungkin hanya memerlukan waktu sekitar satu jam lebih untuk sampai rumah. Afka memarkirkan mobil langsung di garasi. Iris matanya melirik Adzra yang masih duduk disampingnya. Ternyata isterinya itu sudah tertidur pulas.

Afka menggendong sang istri ala-ala pengantin, membawanya memasuki rumah. Namun langkahnya terhenti kala sebuah sinar menyorot kearahnya. Afka membalikan tubuh. Kening laki-laki itu berkerut kala sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumahnya. Dua puluh detik kemudian seorang keluar dari bagian pengemudi dengan langkah sempoyongan. Tentu saja Afka terkejut melihat itu.

“Lo kenapa? Apa yang terjadi?” tanyanya kala orang itu semakin mendekat. Keadaannya sangat ancur. “Ceritakan semuanya.”

Orang itu sama sekali tidak bersuara. Afka tau, pasti sahabatnya ini mempunyai masalah yang rumit. Setelah menidurkan Adzra di kamar, ia kembali kelantai bawah, menemui orang tadi yang sudah ia suruh untuk menunggunya di ruang tengah. Afka kembali dengan membawa secangkir teh manis, sesuai kesukaan sahabatnya itu.

Bidadari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang