Debaran🕊️

406 43 8
                                    

"Dirumah gak ada Kakak, dia udah pindah sama istrinya! Dan lo, Jangan ganggu kebahagian mereka. Sampe gue dapat kabar bahwa rumah tangga mereka hancur, gue gak akan cari hantu tak kasat mata. Sasaran pertama gue itu lo."

"Dasar bocah! Lo jangan ikut campur urusan gue. Urus aja tuh penampilan lo yang kayak emak-emak."

Hayla semakin dibuat darah tinggi dengan perkataan nenek lampir dihadapannya ini. Pagi-pagi datang kerumah orang, mana tidak punya sopan santun. Gadis itu menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Hayla melipat tangan, lalu mengadahkan pandangan dengan gaya merendahkan pada wanita yabg bernama Wanda itu. Hayla memutari tubuh jangkung Wanda, sampai akhirnya berhenti di sampinya.

"Maaf Mbak, bukannya saya mau menghina. Sebelum anda menilai penampilan saya, coba anda ngaca terdahulu! Dan lihat, apakah pakaian yang anda pakai itu pantas digunakan? So, jangan ngatain baju saya. Mungkin Mbaknya nyaman dengan dress ini, dan saya juga nyaman dengan gamis, Saya. Satu hal yang harus anda tau! Hidup itu punya prinsip masing-masing."

Hayla meninggalkan Wanda yang tengah menghentakkan kaki di depan pintu utama rumahnya. Untung saja, setiap kali Wanda datang kerumah, Zhafran dan Mila sedang tidak ada. Sebelum akhirnya membuka pintu mobil, Hayla melirik Wanda sekilas. Gadis itu bingung, sebenarnya ada urusan apa Wanda yang tiba-tiba datang kerumahnya? Apa perlu ia memberi tahu Afka soal ini? Bahwa akhir-akhir ini Wanda sering mencari keberadaannya.

Hayla mengendarai mobil merah itu menuju kampus, tempat kerjanya. Yaa, sejak sebulan lalu Hayla resmi menjadi seorang dosen, sesuai keinginannya. Namun, ia harus debat terdahulu dengan Zhafran. Sampai akhirnya Zhafran mengalah, dan menyetujui apa yang Hayla mau. Bukannya Zhafran egois, tapi ia merasa untuk apa sekarang dirinya bekerja jika anak-anaknya sudah bisa mencari nafkah sendiri?

Disaat lampu merah tiba. Pandangan Hayla tertuju pada halte diseberang sana. Matanya menyipit, sampai akhirnya ia menyadari dan mengenal siapa sosok dua orang itu. Mahasiswi dan dosen sedang bersenda gurau disana. Ntah kenapa, saat melihat laki-laki itu memberikan senyum pada gadis disampingnya, membuat dada Hayla bergemuruh. Pantas saja, selama ini ia bersikap dingin, ternyata sudah memiliki pasangan.

Hayla ikut tersenyum walau dadanya merasakan nyeri yang tidak tau apa artinya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dosen dingin nan datar itu tersenyum. Ternyata senyuman itu sangat manis, senyuman yang tak pernah laki-laki itu perlihatkan padanya. Namun saat dengan mahasiswi yang Hayla yakini sebagai pacarnya itu, ia terlihat sangat humoris dan asik. Hayla kembali melanjutkan mobil kala lampu berganti warna.

"Gimana? Kakinya masih sakit?"

"Udah lumayan baikan. Makasih, ya, Pak. Kalo tidak ada Bapak tadi, mungkin saya sudah menghilang."

Kaizan tersenyum lalu mengangguk. Yaa, meski ia belum bisa mencerna kata yang Indah ucapkan. Menghilang? Maksudnya apa? "Oh iya, kamu kok belum kirim alamat rumah, ya? Kenapa? Saya gak boleh main?"

"Saya lupa, Pak. Nanti deh, saya mau minta no Bapak sama Ziad. Sepertinya kemarin Ziad tidak pulang." Indah mengusap kakinya yang tadi terpeleset saat turun dari bus kota. Untungnya ada Kaizan yang juga sama menaiki bus itu, dan pemuda itu menolongnya. "Kok Bapak bisa naik bus? Mobil Bapak kemana?"

Kaizan kembali mengembang senyum. "Gak sekalian kamu nanya saya. Kenapa pake pake hoodie?"

Indah baru sadar kalo pemuda ini tidak menggunakan baju formalnya. Iris matanya menelisik penampilan Kaizan. Sepatu adidas berwarna biru muda campur hitam dan putih, celana jeans hitam, dan hoodie berwarna putih bertulisan 'My Handsome' dibagian depan, ada headphone juga yang mengalung di leher pemuda itu.

"Maaf, Pak. Saya lancang."

"Gak papa. Saya abis jalan-jalan aja naik bis. Dan gak sengaja liat kamu mau tersanjung, makanya saya ikut turun disini." Kaizan melihat arloji. "Sudah pukul delapan lebih. Kamu tidak ada kelas pagi?"

Bidadari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang