Chapter 1

5.1K 446 54
                                    

"Theo, sini Nak. Jangan main jauh-jauh. Kan kita nungguin Papa, Nak!" seru seorang wanita yang menenteng tas di pundak kanannya sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Hari ini ia memiliki jadwal jaga rumah sakit di sore hari, jadi ia bisa menemani si buah hati yang kini berusia genap empat tahun dan sudah masuk Taman Kanak-Kanak.

"Iya, Ma.." anak bernama lengkap Theo Dirgantara itu berjalan mendekat kembali pada sang mama. Dengan mengenakan seragam TK yang masih kebesaran, ia tampak antusias berjalan kesana kemari seakan meneliti lingkungan sekolahnya. Bulu mata lentik yang ia warisi dari papanya sesekali mengerjap-ngerjap lucu. 

Ini adalah minggu kedua Theo sekolah. Meski begitu, kedua orang tuanya sudah mengajak Theo belajar sebelum ia masuk TK. Bukan belajar dalam artian dipaksa untuk membaca atau melakukan sesuatu, namun orang tuanya kerap membelikan mainan-mainan yang bisa mengasah kemampuan berpikirnya, seperti puzzle. Mamanya juga sering menyetelkan video kartun dari Youtube yang menggunakan Bahasa Inggris. Walau Theo kecil belum paham apa-apa, mamanya yakin bahwa terbiasa mendengar dan menyaksikan, akan merangsang otak Theo untuk belajar bahasa asing.

Berkat kedua orang tuanya yang cerdas, Theo tumbuh sebagai anak yang baik, sopan, memiliki empati tinggi terhadap orang lain, sampai suatu kali ia membantu seekor kucing yang hendak menyeberang jalan. Mama nya panik setengah mati karena anaknya berada di tengah jalan, namun Theo rupanya bisa menyelesaikan masalah yang ada dan kembali ke pelukan mamanya yang sudah panik. Lahir di keluarga serba ada-karena papanya merupakan CEO dari perusahaan arsitektur elit di Indonesia bernama PT Dirgantara Architects, sementara mamanya bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit swasta- tak membuat Theo menjadi anak yang manja dan sombong, justru anak itu cukup mandiri karena terkadang kedua orang tuanya bekerja di waktu yang sama hingga ia hanya ditemani oleh asisten rumah tangga atau nenek dan tantenya jika mereka sedang berkunjung ke rumah Theo.

"Papa masih lama, Ma?" tanya Theo pada mamanya. Wanita itu mengusap pipi anaknya.

"Theo, barusan papa bilang ke mama kalo ada meeting dadakan. Kita naik taksi aja, ya?" Prilly mensejajarkan tubuhnya agar setara dengan putranya.

"Yah, berarti papa nggak jadi lunch sama kita, Ma?" ada nada kecewa di kalimat Theo.

Prilly menggeleng. "Tapi nanti malem kan kamu bisa dinner sama papa, oke?" ia berusaha memberi pengertian.

"Tapi nanti malem mama kan ke rumah sakit.." Theo menggoyangkan tas punggung bergambar iron man miliknya.

Prilly berusaha tersenyum. Ia tak boleh terlihat sedih di hadapan Theo. Ia kemudian mengusap lagi pucuk kepala anaknya dengan sayang. Theo paham. Anak itu pun ikut tersenyum.

"Oke deh Ma. Nggak papa. Theo kan jagoan. Kata papa, kalo nurut sama papa mama itu artinya Theo jagoan!" ujarnya polos.

Prilly tersenyum puas memandang anaknya. Sekilas ia seperti melihat sosok suaminya versi kecil; Ali kecil yang dulu membelikannya boneka barbie dengan uang tabungan di celengannya. Meski Theo memiliki mata hazel Prilly, wajah dan sifatnya benar-benar jiplakan Ali.

"Nah, gitu dong anak mama!"

Keduanya kini sedang ada di depan gedung sekolah Theo. Prilly pun segera membuka aplikasi ojek online di ponselnya.

"Theo!" Prilly tak menghiraukan saat suara cempreng memanggil nama anaknya.

"Halo, Bagas!" balas Theo.

Anak kecil bernama Bagas yang tampaknya berjalan bersama seorang laki-laki itu pun menghampiri Theo dan Prilly.

"Kakaknya Theo?" tanya pria itu pada Prilly. Sadar adanya kehadiran orang lain, Prilly pun mengangkat pandangannya.

Unrighteous 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang