Chapter 8

2.1K 211 42
                                    

Prilly tak bisa tidur malam ini. Kalimat Nathan perihal diagnosanya benar-benar bersarang di benaknya. Tapi alih-alih menangis, dirinya justru berubah menjadi terlalu pendiam saking terpukulnya. Seharian ini dia tak nafsu makan. Hanya dua keping roti tawar yang ia makan hari ini. Ia pun tak bisa lagi bercanda maupun tertawa dengan siapapun juga, termasuk Theo anaknya. Setiap melihat Theo, Prilly jadi teringat dan menyadari fakta bahwa kemungkinan besar dirinya tak bisa memberikan seorang adik bagi Theo, dan anak kedua untuk Ali. Prilly tau bahwa jauh di lubuk hati Ali, Ali sangat menginginkan seorang putri di keluarga kecil mereka. Dulu, ketika kandungan Prilly masih berumur 2 minggu, Ali sangat berharap bahwa janin yang berada di perut Prilly adalah seorang perempuan tapi pada akhirnya, meski Prilly mengandung seorang anak laki-laki, Ali tetaplah antusias, bahagia dan menyayangiTheo sepenuh hati. Kini justru Theo terlihat lebih dekat dengan Ali ketimbang Prilly. Prilly selama ini selalu berharap bahwa anak keduanya nanti merupakan seorang putri, agar lengkap kebahagiaan keluarga Zefalio Dirgantara tapi mimpi itu harus kandas di tengah jalan. 

Seharian ini Prilly banyak sekali melamun meski ia tetap membalas pesan-pesan yang dikirimkan oleh Ali. Hanya satu hal yang Prilly tau; dunianya sudah runtuh.

Berbaring di atas kasur mengenakan piyama berwarna merah, Prilly memandang tempat kosong di sebelahnya. Kasur sisi kanan, karena Prilly selalu memilih untuk tidur di sisi kiri. Sisi kanan kasur selalu diisi oleh Ali, bahkan jika Ali tidak tidur di rumah seperti malam ini, Prilly tetap terbiasa mengosongkan ruang untuk Ali. Kalaupun Ali ada disini, itu tidak akan membantu apapun karena Prilly bertekad untuk terus menutupi hal ini dari Ali. Meski begitu, Prilly tau semua ini hanyalah bom waktu yang entah kapan akan meledak dan meluluh lantakkan orang-orang yang ia sayangi, terutama suaminya.

Sebelum Prilly makin tenggelam dalam pikirannya, ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Ternyata dari Ali.

"Halo yaang? Udah bobok?" tanya Ali di seberang sana.

"Belum kok Abang. Baru mau." jawab Prilly seadanya.

"Hari ini ngapain aja?"

"Biasa. Jemput Theo, praktek di Rumah Sakit." jawab Prilly berbohong.

"Nggak jalan-jalan?" 

"Enggak."

"Ohh." Ali sedikit bingung karena Prilly irit bicara, bahkan tak menanyai kabar Ali maupun menanyai tentang kegiatan yang Ali lakukan hari ini. Prilly tampak sangat berbeda dibandingkan dengan ketika Ali akan berangkat ke Kalimantan.

"Udah dulu ya Bang. Prilly ngantuk." ucap Prilly tiba-tiba. Sebenarnya Ali kecewa karena ia masih ingin mengobrol dengan Prilly. Lagipula Ali tau Prilly bukanlah tipikal orang yang tidur cepat. Biasanya ia bisa begadang sampai larut.

Biasanya, jika sedang LDR-an begini, Prilly dan Ali akan melakukan panggilan video hingga salah seorang dari mereka tertidur tapi malam ini Ali harus puas hanya dengan mendengarkan Prilly dari panggilan suara saja. Mungkin Prilly terlalu lelah dari Rumah Sakit, pikir Prilly.

"Yaudah deh kalo kesayangan Abang ngantuk."

Tak seperti biasanya, Prilly tak menanggapi gombalan Ali. Ia bahkan memilih untuk tidak merespon sama sekali.

"Daa, Abang."

"Daa, yaang. Tidur yang nyenyak ya. Love you."

"Iya."

Setelah itu Prilly memutuskan telepon begitu saja bahkan ucapan Love you dari Ali tak juga dibalasnya. Ali semakin bingung tapi tetap berusaha berpikir positif. Ali yang hari itu sebetulnya juga sangat lelah pun memilih untuk merebahkan dirinya dan tidur di kamar hotel berbintang 5 yang ia tempati.

Unrighteous 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang