Part 6

726 35 0
                                    

Di sekitar posko kami, sudah dipastikan tak ada tanaman pandan, jadi saat itu aku yakin bahwa mungkin akan ada suatu hal yang terjadi entah saat itu juga ataupun besok.

Saat itu, yang bisa mencium hanyalah aku, Bang Didi, Ben, dan Tuti.

Entah kenapa Ical tidak mencium apa yang kami berempat cium malam itu.

Beberapa hari kemudian ternyata tidak ada kejadian apapun yang berarti, mungkin firasatku salah kala itu.

...

Beberapa minggu setelahnya, si Ben terlihat lesu dan pucat saat siang hari setelah proker pendampingan posyandu selesai dan dia hanya duduk termenung di depanku.

"Ben, kok kamu pucet parah sih, lemes juga, ama keringetan gitu?

Lagi meriang ya?

Mau aku izinin pulang aja apa?" tanyaku.

"Iya nih Lok, kelihatan banget ya? Hehe..

Tapi akunya yang nggak enak ke kamu koh, kemarin kan aku udah izin ke kampus buat acara seminar proyek dosenku.

Sebelumnya juga ijin pulang ke rumah.

Nggak enak sama yang lain juga kalau aku di sini yang paling sering izin" jawabnya lirih.

"Ya kan daripada kamu di sini malah jadi tambah parah, mending kamu pulang aja ke rumah.

Ke sininya kalau udah sehat.

Proker kesehatan udah kelar semua belum si yang di situ kamu jadi PJ (penangungjawab)?" tanyaku ke Ben.

"Udah sih Lok, yang di aku udah kelar semua kalau ngikut matrix kegiatannya, paling tinggal proker yang di Ical jadi PJ doang sih beberapa ada yang belum" si Ben menjawab pertanyaanku.

"Yaudah kamu pulang aja sanah, nanti aku yang bilang ke rekan-rekan lain, ke Flo (sekretaris), DPL, sama pak kades. Ati-ati di jalan, jangan lupa salam dari Alok buat ibu, bapak, bibi, paman, adik, kaka, mbah, sama uwa kamu di rumah ya. Hehe.." aku bilang seperti itu ke Ben.

"Hehe.. iya, iya, nanti salammu ku sampaikan.

Makasih ya Lok. Sekali lagi maaf ya" si Ben kepadaku.

Akhirnya Ben izin untuk pulang. 

KKN Desa Perbatasan (berdasarkan kisah nyata)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang