Nobita POV
Ini kelima kalinya aku harus mengerjakan PR yang menumpuk dan pulang terlambat. Orang tuaku juga masih sibuk setiap sore karena harus mengunjungi rumah paman, entah apa masalahnya. Mereka hanya menyuruhku memasak seadanya setelah pulang. Sungguh melelahkan memang, tapi mau bagaimana lagi, semua harus ku kerjakan dan setidaknya sambil belajar menjaga rumah.
Hari ini juga sama seperti sebelumnya, dilorong terdengar suara piano dari ruang musik. Tapi kali ini sungguh memilukan, rasanya ada suara nyanyian yang lirih mengiringinya. Terdengar samar, tapi aku yakin itu suara laki-laki. Setiap kali aku lewat, rasa penasaranku semakin bertambah dan ini puncaknya, aku tidak bisa menahan rasa penasaran itu lagi.
Aku melangkah menuju ruang musik yang berjarak tiga ruangan dari aku berdiri. Sebenarnya aku agak takut dan ragu untuk kesana. Tapi aku mencoba memberanikan diri untuk melihat siapa yang bermain piano dan bernyanyi dihari yang hampir gelap ini.
Anehnya, setiap Lagu itu dimainkan pasti ada beberapa part yang terdengar tidak sempurna, ada bagian terus berulang hingga tidak mencapai reffnya. Seperti tahu aku perlahan mengeser pintu, suara piano itu berhenti. Nafasku ikut terhenti sesaat bersama jantungku.
Lalu jantungku kembali berdetak kencang seraya bunyi piano itu mengalunkan lagu dari awal. Aku berusaha mengendalikan diri, sampai akhirnya aku berhasil masuk dan melihat siapa yang ada didalam.
Pemandangan luas ruang musik begitu syahdu, menampilkan grand piano dan pemainnya disinari cahaya lampu kekuningan. Nada harmoni dan suara penyanyinya saling melengkapi melantun Indah. Wajah pemain itu berkerut, matanya tertutup mencoba menghayati lagunya. Setetes air mata keluar dari matanya. Sayangnya dia belum menyelesaikan lagunya, malah menoleh kearahku dengan wajah datar.
"Dekisugi...," ucapku ragu.
Jantungku berdetak kencang, aku bagaikan terisap masuk pada lubang hitam yang sunyi, terasa sesak. Dia terus menatapku, aku agak takut.
"Aduh. Maaf... sepertinya aku menggangu... aku... aku akan pergi,"
"Tidak apa-apa... masuklah, Nobi-kun,"
Awalnya aku pikir dia akan mengusirku dengan marah tapi malah menyuruhku masuk. Itu memang ajakan yang tidak terduga tapi aku tidak bisa menolak "ah..okey,"
aku berjalan masuk mendekatinya sambil menerka-nerka, "Ngomong-ngomong ... kau tadi...,"
"Kau salah lihat," Belum juga aku selesaikan kalimatku dia menjawab seperti dia sudah tahu yang mau aku tanyakan.
"Itu kan sudah jelas. Jelas kau meneteskan air mata, aku sendiri yang melihatnya,"
"itu cuma keringat,"
"Ah! Mana? Kau tidak berkeringat," aku meraih wajahnya dan melihat dengan teliti kanan kiri wajahnya. Tapi dia menepis tanganku dan memalingkan wajahnya ke piano di depannya.
"Maaf, aku agak tidak sopan,"
Dia tidak merespon sama sekali, membuatku sedikit kikuk.
"Hey... Kau... kau tidak perlu malu. Maksudku... kalau mau menangis, menangislah. Apa yang salah? Lagunya memang menyentuh, kau menjiwainya... Itu hal bagus, bukan?" ucapku terbata.
"Akan memalukan jika harus tampil di depan banyak orang,"
"Eh? Kau yang akan tampil di pertunjukan seni sekolah kita dengan lagu itu? Wah, keren!"
"Aku hanya menggantikan Senpai yang harusnya bermain tapi dia mengalami masalah kesehatan,"
"Wah... Sayang sekali padahal tinggal seminggu lagi. Tapi aku senang yang terpilih adalah kau. Pasti kau dipilih karena mereka tahu kemampuanmu sangat bagus."
"Terimakasih Nobi-kun,"
Ada jeda sebentar diantara pembicaraan kami sedangkan dia hanya terus memandangi grand piano itu.
"Hmm... kalau gitu aku pulang duluan yaa..."
"Tidak... tunggu... Jangan pergi dulu... Bolehkah aku menyelesaikan lagunya?" suaranya hampir tidak terdengar
"Eh?"
"Lagunya... Maukah kau mendengarkannya sampai selesai?"
"Ah... Tentu,"
Dia mulai menekan tuts pianonnya dan bernyanyi, suaranya agak serak dan bergetar. Aku menjauh pelan-pelan agar tidak menggangu konsentrasinya. Seburat senyum tipis terpancar diwajahnya dan semakin terlihat jelas saat aku menjauhinya, aku ikut tersenyum. Dia menoleh kearahku sebentar kemudian air matanya turun. Perlahan namun terus mengalir sampai dia harus menunduk untuk menyembunyikannya. Melihatnya membuatku sedikit terkejut dan bingung.
Dia mengakhiri lagunya dengan sempurna, tanpa jeda atau pengulangan. Dia melepaskan napasnya yang berat dan menghapus air matanya. Aku amati dia lekat dan berpikir bahwa dia sungguh hebat. Meski aku tidak paham mengapa dia menangis, aku kagum dia sanggup menyelesaikan lagunya kali ini.
"Nobi-kun, terimakasih. Akhirnya aku bisa mengakhiri lagunya berkat kau..."
"eh?.."
"Aku merasa lebih baik sekarang berkat kau,"
"Ah... itu berkat kau sendiri. Kau yang hebat, Dekisugi. Kau bermain dengan sempurna karena menjiwainya,"
"Tapi... aku sangat buruk dalam mengatur emosi sebenarnya. Rasanya aku tidak akan mampu bermain piano diatas panggung,"
"Begitu..."
Aku berjalan mendekatinya yang masih duduk di kursi, dia mendongakkan kepala untuk melihatku dengan matanya yang tersirat sesuatu yang tidak aku pahami, tapi tatapannya dalam.
"Coba jelaskan padaku alasannya,"
"Aku... tidak bisa menyelesaikan lagunya setiap kali memainkannya, rasanya selalu ada yang hilang. Tapi aku pikir sekarang semuanya sudah sempurna dan jelas, aku bisa merasakan apa yang sebenarnya aku inginkan,"
Aku hanya tersenyum bingung dengan penjelasannya. Orang jenius yang seperti dia seharusnya tidak menggunakan kata yang ambigu pada orang bodoh sepertiku ini tapi aku mencoba meyakinkannya.
"Kau sudah berusaha dengan baik, kawan. Tenanglah... ingatlah latihan hari ini, sampai kau diatas panggung nanti. Aku akan mendukungmu,"
Aku menepuk pundaknya untuk menenangkannya. Dia menundukan wajahnya dan menutup wajahnya, aku tahu dia terisak.
"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu bicara jika tidak sanggup. Tapi menangislah... aku ada disini bersamamu... keluarkan semua yang kamu rasakan sekarang. Lepaskan emosimu, menangislah saat kau butuh. Jangan khawatir," Aku duduk disampingnya kemudian memeluknya.
Dekisugi POV
Jantungku mulai berdebar kencang setiap detiknya tanpa henti, mataku tak bisa menghentikan airmata, wajahku mengalir darah yang tidak bisa terkontrol, panas. Tidak pernah aku merasakan yang seperti ini sebelumnya, hangat dan tenang dalam dekapan. Sebelumnya, aku bahkan melupakan bagaimana rasa pelukan itu, atau memang aku tidak pernah merasakannya. Namun akhirnya aku bisa merasakan pelukan yang sebenarnya.
Aku memberanikan diri untuk membalas pelukannya. Pelan aku tautkan tanganku, merasakan tubuhnya yang hangat membuatku nyaman. Aku menumpahkan semua emosiku saat itu, sambil merasakan dia mengusap lembut rambutku.
"Orang menangis karena lagu itu wajar, mereka punya hati. Mereka juga pernah mengalami perasaan yang sama seperti dalam lagu itu. Aku salut padamu yang masih bisa menyelesaikan lagunya. Jika saja aku berada diposisimu, mungkin aku tidak setegar dirimu, apalagi harus membawakannya di depan banyak orang. Kau luarbiasa, aku kagum padamu, Dekisugi," Dia mengeratkan pelukannya.
"Ayo kita pulang, Dekisugi... ini sudah gelap,"
Kami berjalan beriringan kearah pulang sambil berbincang. Ini menyenangkan, menenangkan, tidak pernah bosan aku mendengar suaranya dan melihat senyumnya. Tawa renyahnya dan lelucon yang membuatku melepaskan stress hari ini. Ingin rasanya terus seperti ini, tapi aku tahu itu mustahil. Kami harus berpisah, disini, di ujung jalan diantara jembatan. Di bawah jembatan itu, mengalir sungai yang memperlihatkan pantulan bulan yang tenang, seperti membawa dia pergi perlahan seraya melambaikan tangannya meninggalkanku.
Bersambung....

KAMU SEDANG MEMBACA
I Play This Piano For You
FanfictionAlunan piano berputar meniti kisah tentang kehidupan manusia. Kisah-kisah tentang cinta, perpisahan, keraguan, kesedihan, kemarahan, penyesalan dan sebagainya. Alunan itu tidak hanya bisa dirasakan penciptanya tapi juga orang lain. Beberapa orang mu...