Setelah melewati ruang tamu, aku bergegas jalan kearah tangga naik ke kamarku, namun suara Bunda menghentikan langkah kaki ku.
"Shine sudah pulang? sini dong sayang." panggil Bunda, aku bingung harus bagaimana.
"Sini sayang, Bunda kangen kamu." Bujuk Bunda dengan nada pelan, aku berjalan mendekati nya, kurasa sebentar saja bertemu Bunda tidak akan kenapa-kenapa.
Bunda mendudukkan ku dibangku, mengelus rambutku pelan sambil tersenyum manis, namun pergerakan tangannya berhenti membuatku menoleh.
"Shine, anak Bunda yang terakhir ya? yang habisin uang Bunda untuk bayar operasinya, hahaha." Gumam Bunda, jemarinya kembali bergerak mengusap rambutku, namun tiba-tiba mencengkramnya kuat.
"SHINE ANAK BUNDA YANG NYUSAHIN KAN YA? SAMA SEPERTI BIMA!" teriak Bunda, kini suaranya berubah total.
Bunda menarik badanku tanpa melepas cengkraman tangannya dari rambutku, ia terus meremasnya, dan aku merasakan banyak rambutku yang tercabut.
"B-bun akh–"
"Diam!" perintah Bunda, ia mengangkat wajahku yang tertunduk, mengelus pipiku pelan.
Lalu sedetik kemudian menamparnya kuat hingga aku terpental menabrak meja kecil, aku meringis, lutut ku belum sembuh namun kini ditambah punggungku yang terasa perih.
Kini Bunda menarik kerah seragam ku kencang, meremasnya hingga bajuku kusut. Kurasakan perih menjalar dari belakang, aku yakin kini punggungku sudah tercetak luka-luka.
Aku menahan tangis, karena aku yakin semakin aku menangis maka emosi Bunda semakin membuncah. Bunda menarik tanganku untuk berdiri dan menendang pinggangku, aku terduduk berlutut didepannya.
Rambutku ditarik lagi keatas, Bunda ternyata sudah memegang gunting yang entah dimana dia dapatkan.
"Bunda benci Shine masih bisa senyum, DIATAS PENDERITAAN BUNDA DIRUMAH INI!" Teriak Bunda didepan wajahku.
Tangannya yang memegang gunting bergerak mendekati rambutku, namun sebuah tangan menariknya kencang membuat Bunda oleng.
"Apalagi sih perempuan gila!" teriak Kak Bima yang ternyata sudah sampai dirumah.
Kak Bima langsung berlari menarikku ke lantai atas menuju kamarku, dan ikut masuk lalu mengunci nya. Napas kami tersendat-sendat tak beraturan.
Kak Bima menoleh dengan wajah kesal,
"Gausah sok bisa jaga diri bangsat! udah bagus gue suruh Rangga jagain lu disini!" teriaknya."A-aku segan kak! Udah berapa menit Kak–"
*plak!
Omongan ku terhenti, Kak Bima menamparku, lagi. Pas ditempat Bunda menamparku tadi, aku menunduk.
"Gausah melawan! lu itu nyusahin aja taunya anjing! capek gue!" kata kak Bima menghakimi.
Aku menjauh dan duduk diatas kasur sambil memeluk kaki ku, Kak Bima duduk diatas sofa yang ada dikamarku. Tidak ada yang bersuara dari aku ataupun Kak Bima.
"Ganti baju lu, CEPAT!" perintah Kak Bima.
Aku langsung mendekati lemari dan mengambil asal pakaian yang ada disana lalu masuk kamar mandi.
Ku coba melihat luka-luka ku yang ada dipunggung pada cermin, ternyata ada goresan kayu dan juga memar, pandanganku berpindah kearah lutut.
Kini lututku semakin membiru, bahkan hampir berdarah. Setelah memakai baju aku menangis sambil menahan suara agar tidak didengar oleh kak Bima.
Knop pintu berputar, menampakkan Kak Bima dibaliknya.
"Bunda makin gila, makin gak aman dirumah terus, lu tidur di rumah Nandyla hari ini, gue dirumah Zali." katanya lalu menarik tanganku pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH
Contorumah/ru·mah/ (n.) 1 bangunan untuk tempat tinggal; 2 bangunan pada umumnya (seperti gedung);-- gedang ketirisan, pb istri yang tidak mampu mendatangkan kebahagiaan kepada suami; -- sudah, tukul berbunyi, pbmemajukan keterangan dan sebagainya sesud...