SAME MISTAKE

1K 90 4
                                    

Dulu memang aku pernah salah
Dan semuanya tlah kulakukan
Namun bukan berarti hidup dan cintaku
Tak tertuju padamu
.

Pusing sekali. Kepalaku benar-benar terasa sangat berat kali ini. Aku mengernyit, kemudian perlahan membuka mata. Silau sekali, cahaya putih seakan berlomba memasuki retina mataku. Aku mengerang, dengan otomatis tangan kananku terangkat, hendak memijat kening yang terasa berdenyut hebat.

"Akh...!" Namun, justru rasa perih dan nyeri yang ku rasakan. Aku membuka mata sempurna, kemudian menatap pusat rasa sakit itu; tepat pada pergelangan tangan kiriku yang terbalut perban. Ah, aku ingat sekarang.

Pandanganku kembali mengedar pada tembok ruangan serba putih yang terbentang. Rumah sakit. Ah, apakah aku menggores pergelangan tanganku terlalu dalam?

"Syukurlah... kau sudah sadar, Hinata."

Aku mengalihkan tatapan mataku pada asal suara. Setelahnya aku tersenyum, aku bahagia. Setidaknya aku menemukan dirinya yang kucintai saat aku terjaga. Naruto, pemuda baik hati nan perhatian itu kekasihku.

"Apa masih ada yang sakit?" Suara husky khas dirinya kembali membelai telinga. Aku menggeleng singkat, berusaha meredakan kekhawatiran yang tercetak jelas pada wajah tampannya. Ah, lagi-lagi aku merasa bersalah.

Ia menatapku sendu. Safir birunya meredup. Kedua tangan besar nan hangatnya tak henti meremas dan mengecup tangan kananku yang bebas; tanpa selang infus. Ia terlihat begitu menyayangiku. Serius, aku merasa sangat jahat jika sudah begini.

"Kau masih punya aku. Kau bisa membagi segala rasa sakit dan perihmu denganku. Kenapa kau masih saja tak mau berhenti menyakiti dirimu sendiri, huh? Kau membuatku takut, Hinata."

Ah, separah itukah?

Yah... memang ku akui aku sering kali melakukan Self-harm. Sudah tak terhitung lagi ini kali ke berapa? Aku tersenyum miris ketika mengingatnya. Entahlah, kebiasaan buruk ini sudah sejak lama ku alami. Menyakiti diri sendiri, aku merasa bahagia ketika melakukannya. Seakan beban hidupku menghilang seketika. Ah, mungkin saja aku sudah gila.

Aku memang seseorang yang tak pandai mengelola emosi, jika rasa sedih dan menderita menguasai, maka bisa dipastikan pisau atau cutter akan membuat pola indah di atas kulit tubuhku; pergelangan tangan kiri adalah favoritku. Dan kurasa kali ini aku menyayatnya terlalu dalam, mungkin hampir saja urat nadiku terputus jikalau Naruto tidak secepatnya menemukan dan menolongku semalam.

Ah, aku jadi teringat hal yang membuatku seperti ini. Ayahku kembali mabuk-mabukan dan memukuliku, melampiaskan segala kesal dan amarahnya yang tak berdasar itu padaku.

Yah, keluargaku memang sudah berantakan. Semenjak kepergian ibu untuk selama-lamanya, tabiat ayah berubah. Ia tak lagi bisa menjadi panutan, justru ia selalu menyiksa ku jika sedikit saja melakukan kesalahan. Entah monster apa yang merasukinya.

Namun, aku cukup paham alasan kenapa ia berubah begitu signifikan. Ayah terlalu mencintai ibu, dan aku yang membuat mereka harus berpisah. Aku merasa... akulah pembunuhnya.

Perasaan bersalah itu selalu menghantuiku, peristiwa kebakaran itu masih kerap hadir di alam mimpiku. Saat itu ibuku berusaha melindungiku, mengorbankan punggung rapuhnya terhantam material rumah yang runtuh agar tak menjatuhiku. Aku baik-baik saja, namun ibuku meregang nyawa akibatnya.

"Katakan sesuatu, Hinata?" Suara beratnya kembali menyapa. Aku tersenyum lemah seadanya.

"Maafkan aku, Naruto-kun." Hanya kata itulah yang mampu terucap, meskipun terdengar lirih dan serak.

ONESHOT NaruHinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang