"Kau yang memulainya lebih dulu Hayoon!"
Son Hayoon meletakkan satu tangan pada pundak suaminya, berniat meredakan emosi sang suami yang sedari tadi meluap-luap. "Mari kita bicarakan baik-baik."
Namun, suaminya itu menolak. Menghempaskan tangan sang istri yang berada di pundaknya dengan kasar membuat wanita muda itu meringis pelan. Dongju menolehkan kepalanya, terbersit penyesalan dalam dirinya yang dengan tega menyakiti wanita yang ia cintai itu. Bahkan secara sadar ia paham betul jikalau sang istri tidak bermaksud demikian.
"Ah, maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?" Hayoon menggeleng, mengulas senyum lantas memeluk tubuh suaminya erat. "Jangan marah padaku lagi, aku takut. Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik."
Seketika Dongju tersadar, ia mengangguk patuh kemudian membawa istrinya untuk duduk di pinggir ranjang.
"Aku hanya ingin kau bahagia, Dongju-ya." Ucap Hayoon sembari genggam tangan suaminya
Dongju menghela nafas, "bahagiaku hanya bersama denganmu bukan dengan orang lain. Aku tidak peduli kau bisa mengandung ataupun tidak, yang jelas asalkan tetap denganmu aku tidak akan mempermasalahkannya."
Hayoon menggeleng lemah, kekurangan dirinya tidak boleh membuat masa depan seseorang hancur begitu saja. Keturunan adalah hal yang paling di nantikan oleh setiap pasangan tapi, ia malah tidak bisa memberikannya. Ia jelas tahu, hal itu membuat suaminya kecewa. Hanya saja, Dongju pandai menyembunyikan perasaannya. "Apalagi yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah bisa menjadi seorang ibu — bahkan meskipun kita bertahan hingga dua atau sepuluh tahun lagi pun, aku takkan bisa."
Tangannya terulur pada pipi sang istri, mengusapnya perlahan lalu beralih pada puncak kepalanya. "Bukannya bagus ya jika kita tidak memiliki anak terlebih dulu? Jadi, kita bisa terus berpacaran. Hanya akan ada aku dan kau. Lagipula, pernikahan kita baru berjalan 5 tahun."
"Kau memang tidak mempermasalahkannya tapi, bagaimana dengan orangtuamu yang terus mendesak agar dapat segera menimang cucu?"
Dongju mengerti kekhwatiran istrinya itu. Ia lantas mengendikkan bahunya dengan wajah yang masih kalem seolah tidak ada apapun untuk ia khawatirkan. "Aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Toh, yang menjalani kan kita berdua. Sudah pasti yang merasakannya juga hanya kita. Terserah mereka mau berkata apa."
Hayoon mendongak, terperangah atas ucapan sang suami yang sedang tenangnya berbicara hal seperti itu. Apa ia sudah tidak waras? Akalnya tertinggal dimana sampai Dongju berani berkata demikian. "Apa yang kau katakan?!"
Dongju mengernyitkan keningnya, mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan bingung. "Sayang, dengarkan aku. Aku memang ingin memiliki anak, tapi anak itu haruslah berasal darimu. Jika kau tidak bisa memberikannya pun aku tak masalah. Karena, aku hanya mencintaimu. Tidak peduli seberapa kerasnya kau menyuruhku untuk meninggalkanmu, aku akan tetap pada pendirianku; berada disampingmu, menyayangimu, mencintaimu, melindungimu, dan berjanji takkan pernah meninggalkanmu." Ia angkat wajah istrinya sehingga manik keduanya bertubrukan.
"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, pada orangtuamu, juga padamu jika aku takkan pernah menunggalkanmu. Aku hanya ingin bersamamu, Hayoon. Mari bertahan untuk waktu yang lama dan hidup berdua dengan bahagia." Sang istri menangis, air matanya jatuh membasahi pipi dengan isakan kecil yang tertahan.
Dongju membawa istrinya ke dalam dekapannya, memeluknya dengan erat sembari terus mengusap punggungnya. "Menangislah sampai kau puas. Aku akan terus memelukmu sampai kau berhenti menangisi hal itu."
Hayoon terus terisak, membenamkan wajahnya pada dada sang suami lantas membalas pelukannya. Dongju memang lelaki yang sangat sempurna untuknya. Entahlah, apa yang sudah ia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai-sampai bisa seberuntung ini. Dicintai dengan begitu besarnya oleh lelaki yang bahkan tidak bisa ia bahagiakan. Hayoon rasanya ingin meminta pada Tuhan agar suaminya itu teruslah berumur panjang, dilimpahkan kebahagiaan tanpa harus merasakan penderitaan. Hanya itu.
"Maafkan aku. Aku bahkan tidak bisa membahagiakanmu tapi, kau — hikss." Ucapnya tertahan, Dongju melepaskan pelukannya, menatap binar mata sang istri dengan tatapan yang menenangkan.
"Membahagiakanku cukup dengan cinta yang tulus juga janji bahwa kau akan terus berada di sisiku. Kau mengerti?" Hayoon berhenti menangis, melepaskan pelukannya sembari mengusap bekas airmata di pipi.
"Sudah selesai menangisnya? Jika sudah, bisakah kita tidur dan melupakan masalah ini?" Sang istri terkekeh pelan kemudian menganggukan kepalanya
Keduanya naik ke atas ranjang, merebahkan diri dalam balutan selimut super tebal dengan jarak yang berdekatan. "Kau kedingingan, bukan?" Dongju memberi isyarat, merenggangkan kedua tangannya seolah meminta sang istri untuk lebih dekat padanya.
Keduanya memejamkan mata. Dinginnya udara seolah tidak bisa mengusik keduanya. Hanya ada kehangatan yang tercipta sebab mereka terlelap dalam buaian mimpi sambil berpelukan mesra.
Dongju kecup kening sang istri untuk beberapa detik, "selamat malam, cantik."
—
[804 kata]
Gak kerasa sudah sampai di chapter 6. Aku nulis ini sambil minum teh juga nonton tv, makannya seperti inilah akhirnya. Kurang ngefeel dan penjabarannya juga terkesan gak jelas. Ah, banyak banget yang harus aku perbaiki. Tapi, nanti deh. Sekarang, selamat membaca dan semoga kalian suka sama ceritanya.
Untuk kalian yang setia nungguin cerita ini, baca cerita ini sampai vote dan terkadang menulis komentar aku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.
Untuk yang masih suka jadi pembaca gelap, kapan mau berhenti? :)
Sampai ketemu di chapter selanjutnya! Semoga kalian masih terus mengikuti cerita ini ya!
Love, Xierzi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Oneus As Husband ✓
Fanfic[Oneus imagine as a husband] - bahasa baku, lengkap. - fanfiction (tidak untuk disangkut pautkan sengan kehidupan asli para member) © 2020, Lovelyxierzi.