Hai, namaku Danita, atau akrab dipanggil Ita. Aku dilahirkan di keluarga menengah dengan orang tua yang masih lengkap hingga usiaku menginjak 26 tahun ini. Ayahku seorang buruh pabrik, dan ibuku seorang pekerja di sebuah pabrik garmen kecil yang tak jauh dari rumahku. Jarang ada perdebatan rumah tangga diantara kedua orang tuaku. Namun, hingga saat ini aku masih membawa inner child yang kerap kali menyesakkan dadaku.
Di usiaku saat ini, aku termasuk orang yang berpendidikan tinggi. Aku telah menyelesaikan jenjang Strata 1 di salah satu universitas swasta yang ada di Bandung saat usiaku 24 tahun. Aku mengambil program studi Desain Komunikasi Visual, karna itu jurusan yang paling sesuai dengan passionku. Meskipun setelah lulus, masih banyak skill yang harus aku asah kembali.
Kesibukanku sekarang adalah berbisnis online dengan menjual berbagai T-shirt yang aku gambar dan desain sendiri. Omsetnya belum begitu besar, namun harus tetap disyukuri dibanding aku harus bekerja di perusahaan orang lain. Aku pernah bekerja di sebuah perusahaan selama 1 bulan lebih, namun ternyata aku kurang begitu suka diperintah oleh atasan untuk merusak idealisme gaya desain yang aku miliki.
Oke, cukup sekian informasi mengenai siapa dan bagaimana kesibukanku sekarang. Sekarang, aku akan kembali membahas bagaimana inner child yang aku miliki masih tertanam kuat dalam pikiranku.
Aku, yang biasa dipanggil Ita oleh keluarga dan teman-temanku, hanyalah seorang gadis biasa. Wajahku tak begitu cantik, tubuhku tak begitu tinggi, penampilanku tak begitu feminin. Aku hanya mempunyai sedikit teman, dan aku memang tidak terlalu membutuhkan banyak teman. Bisa dibilang aku seorang gadis yang introvert.
Aku baru menyadari bahwa aku mempunyai sifat yang pendiam saat aku memasuki bangku Taman Kanak-kanak. Sebelum memasuki bangku sekolah, aku bisa berbincang dan bermain seperti biasa bersama teman-teman sepermainanku di daerah sekitar rumahku. Tetapi ketika dihadapkan dengan puluhan anak-anak seumuranku yang baru kulihat, aku merasa canggung dan tidak bisa berbaur dengan mereka.
Sepulang hari pertamaku bersekolah, sembari mengantarkanku untuk pulang ibuku berkata padaku. "Mama lihat tadi kamu kok diem terus sih? Main dong sama anak-anak yang lain."
Pikiran polosku enggan untuk menimpali perkataannya. Aku tidak terlalu peduli dan hanya berpikir yang terpenting adalah mereka tidak sampai mengganggu atau menyakitiku. Ibuku kembali melanjutkan kalimatnya lagi. "Nanti kamu coba ya gabung sama yang lainnya, ngobrol dan main bareng jangan diem terus kaya tadi."
Dalam hatiku berkata "Terserah lah, nanti juga lama-lama saling kenal."
Waktupun terus berjalan hingga aku benar-benar menyadari sifat pendiamku di kelas. Aku benar-benar pemalu ketika harus berhadapan dengan teman-teman sekelasku yang lainnya. Teman-temankupun mengatakan hal yang demikian bahwa aku adalah anak yang pendiam. Tapi beruntung, mereka tak sampai menggangguku secara fisik. Hanya terkadang bullyan verbal layaknya sesama anak kecil yang masih bisa aku maafkan.
Melihat sifat pendiamku di sekolah, ibuku merasa heran. Beliau berharap mempunyai anak yang ceria dan atraktif, namun ternyata aku tidak bisa memenuhi ekspetasinya. Ibuku selalu mengomel kepadaku kalau aku harus jadi anak yang supel dan ceria. Namun dalam pikiran polosku, aku tidak tahu caranya menjadi demikian. Aku hanya bisa beraktivitas dan bergaul sesuai dengan kemampuanku.
Setelah memasuki bangku Sekolah Dasar pun aku masih menjadi Danita si anak pendiam. Ibuku selalu mengharapkan perubahan di dalam diriku, namun ternyata tidak ada hasil yang signifikan. Hingga ia berkata, "Jangan jadi anak pendiem terus! Bergaulah dengan banyak teman." Dan aku masih belum mengerti bagaimana cara memenuhi ekspetasinya.
Ibuku tipe orang yang selalu berekspetasi tinggi terhadap segala hal, termasuk anaknya sendiri. Tapi beliau tidak pernah menunjukkan suatu cara kepadaku tentang bagaimana cara memenuhi ekspetasinya sendiri. Terkadang ibuku selalu menyampaikan keluh kesahnya kepada saudara atau teman-temannya bahwa dia mempunyai anak yang pendiam dan kurang bisa bergaul. Dan terkadang juga beliau menyampaikannya di depan mataku sendiri kepada teman-temannya.
Anak kecil berusia 6 tahun pun punya perasaan, hatiku merasa sakit dan tidak enak saat melihat pemandangan itu. Namun dahulu aku kurang mengerti mengenai perasaan itu. Ya begitulah, namanya juga anak kecil, gak mungkin ikut-ikutan julid juga, kan?
Ibuku juga terkadang selalu mengomentari bentuk fisikku. Aku mewarisi 70% ciri fisik dari ayahku. Tubuhku kurus namun pipiku chubby, gigiku berukuran lebih besar dari ukuran normal dan terkesan sedikit tonggos bila sedang tertawa lebar, namun tidak terlalu kentara ketika aku sedang menutup rapat bibirku. Ibuku selalu berkata dengan nada yang bercanda, "Kamu kok giginya besar gitu ya, kaya bapakmu. Bisa mingkem gak?"
Awalnya aku tak terlalu tersinggung dengan perkataan itu, tapi semakin sering dia mengatakan hal itu setiap bercanda, semakin tidak enaklah perasaanku. Beliau selalu mengomentari bentuk fisikku sebagai bahan bercandaannya ketika sedang bersamaku. Lucu? Tidak sama sekali. Aku sama sekali tidak bisa tertawa dalam topik bercandaan macam itu.
Tidak hanya itu, terkadang ibuku juga selalu menyampaikan kalimat-kalimat lainnya seperti, "Si Widi temanmu itu kan emang cantik, kalau kamu kaya gini mana bisa terpilih jadi model busana muslim anak." Dan juga ketika aku si anak kecil polos ini bercerita bahwa aku mengidolakan Agnes Monica dan ingin menjadi seperti dia, ibuku selalu menjawab. "Agnes kan cantik, jadi artis itu harus cantik. Kamu jangan mikir ketinggian lah." Kepercayaan diri sang Danita kecilpun sedikit demi sedikit runtuh.
Dan juga, kedua orang tuaku tidak suka jika melihat anaknya menangis. Ketika aku mempunyai permasalahan dengan teman-temanku hingga menangis, kedua orang tuaku selalu berkata, "Udah lah, jangan nangis. Udah gede kok masih suka nangis." Mereka jarang sekali menghiburku ketika sedang bersedih. Malah tanteku yang terkadang menghiburku ketika melihatku sedang menangis.
Mengenai ibuku, dia selalu menasihatiku untuk tidak boleh berkata kasar. Namun ketika ia marah, ibuku selalu melontarkan kata-kata kasar kepadaku. Ketika aku menanyakan mengapa dia berkata kasar kepadaku, dia malah menjawab kalau wajar bila orang tua berkata kasar pada orang yang lebih muda. Sampai sekarang aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tidak mengerti dengan nasihat itu.
Namun, aku tidak serta merta menjadi lemah mental. Aku membentuk pertahanan diri untuk menunjang penampilanku sendiri. Aku ingin terlihat kuat di depan teman-temanku dengan berlagak seperti gadis tomboy. Namun, sifatku menjadi terkesan pemarah dan tempramental. Aku terkadang harus berkelahi dengan teman perempuan bahkan teman laki-lakiku jika sedang marah. Ya, masa kecilku memang seperti itu. Orang tuaku tidak begitu mengetahui kebiasaanku di luar rumah. Jika mereka tahu, maka habislah aku.
Orang tua dari teman-temanku banyak yang tidak menyukaiku karna sifat tempramentalku ini. Bahkan sebagian dari mereka melarang anaknya untuk bermain bersamaku. Itulah sebabnya aku tidak begitu mempunyai banyak teman. Dalam benakku, berlagak tomboy dan tempramental menjadi cara agar aku tidak mudah untuk direndahkan orang lain.
Selama duduk di bangku sekolah Dasar, aku hanya mempunyai 3 teman bermain dekat rumahku dan 2 orang sahabat di sekolahku. Mereka adalah orang-orang yang apa adanya dan cukup mengerti dengan kepribadianku ini. Seiring berjalannya waktu, pikiranku semakin dewasa. Aku lebih bisa mengontrol emosi meskipun sedang marah.
Orang tuaku masih saja memberikan pertanyaan klasik yang sama. "Mengapa kamu tidak punya banyak teman?"
Aku hanya menjawab, "Aku hanya berteman dengan orang-orang yang nyaman denganku saja."
Ibuku tetap dengan ekspetasinya, "Carilah lebih banyak teman, Mama mau kamu kaya anaknya Bu N*** yang pintar bergaul."
Next Chapter 🔽
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Aku Takut Menikah ✔
General Fiction[ Berdasarkan kisah nyata dari temannya author ] Danita (bukan nama asli), seorang wanita lajang berusia 26 tahun, harus berjuang seorang diri mengatasi INNER CHILD yang masih melekat kuat dalam kepribadiannya. Berbagai kecemasan dan kekhawatiran sa...