Di sepanjang masa kuliahku, aku memang bukan seorang mahasiswa yang aktif dalam beorganisasi. Aku tidak terlalu pintar, tidak terlalu punya banyak teman, dan penyendiri. Terlalu banyak berinteraksi dengan banyak orang bisa membuatku merasa pusing hingga mual. Hanya beberapa teman sesama mahasiswa saja yang sering berinteraksi denganku.
Penampilanku kurang menarik dibandingkan mahasiswi lainnya. Tidak fashionable, dan sering berpenampilan cuek. Bahkan beberapa teman laki-lakiku pernah menyebutku gadis tomboy berkerudung. Aku tidak peduli dengan kata-kata itu, karna aku hanya berpenampilan sesuai dengan budget yang aku punya.
Menjelang semester 3, satu per satu teman dekatku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, dan sebagian lagi memutuskan untuk menunda perkuliahannya. Ah, Tuhan, mengapa harus semua teman dekatku yang pergi?
Sejak saat itu, gairah belajarku menjadi menurun drastis. Aku semakin sering menyendiri ketika kegiatan kampus berlangsung. Hal itu membuat kesehatanku menjadi menurun, aku menjadi sering jatuh sakit memikirkan semua itu. Orang-orang yang selama ini selalu menemani hari-hariku di kampus, kini mereka memilih untuk pergi membawa keputusannya masing-masing.
Tidak ada seseorang yang bisa menjadi tempat untuk menumpahkan keluh kesahku, termasuk keluargaku sendiri. Mereka selalu melihatku layaknya seorang gadis yang tanpa beban hidup. Kedua orang tuaku memang membiayai segala kebutuhan sandang dan panganku, tapi tidak untuk kebutuhan batinku. Aku sangat menghargai mereka meskipun aku tidak merasa nyaman dengan mereka.
Di setiap waktu senggangnya, ibuku selalu menasihatiku untuk menjadi gadis muslimah yang anggun dan menutup rapat auratku setiap hendak pergi ke luar rumah. Namun hingga sekarang, aku enggan menuruti perintahnya. Aku hanya memakai hijab/jilbab/kerudung ketika hendak pergi berkuliah. Selain itu, aku tidak pernah memakainya. Aku bukan tipe wanita yang gemar mengumbar aurat dan masih punya batasan normal dalam berpakaian. Aku bahkan tidak pernah memakai pakaian yang memerlihatkan lutut dan ketiakku. Gaya berpakaian sehari-hariku masih normal-normal saja.
Aku tidak menyanggah bahwa nasihat yang diberikan ibuku untuk menggunakan hijab dan bersikap anggun adalah nasihat yang salah. Semua nasihat itu bagus sekali untuk diriku. Tapi aku punya alasan tersendiri untuk enggan dulu menuruti perintahnya.
Alasan pertama, ketika ibuku menyuruhku untuk bersikap anggun, itu berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukannya padaku. Beliau bukan termasuk seorang ibu yang anggun. Maaf bila ini sangat melukai dari sudut pandang tertentu. Karna aku melihat sikap yang ditunjukan ibuku terkesan kasar kepada anak-anaknya. Dia kerap kali berkata-kata kasar bila sedang marah. Pukulan dan cubitan ibu adalah warna di masa kecilku dan adik-adikku. Serta, aku sering melihat ibuku yang selalu bergibah ria menceritakan keburukan orang lain dengan ibu-ibu lainnya.
Tak hanya itu, beliau juga seringkali meremehkan kemampuan anak-anaknya yang seringkali membuat kepercayaan diriku dan adik-adikku menurun drastis. Karna bagaimanapun, seorang anak selalu melihat semua yang dilakukan orang tuanya. Jangan salahkan anakmu jika dia tidak bisa memenuhi semua ekspetasimu, karna seorang anak tergantung bagaimana ia dibentuk.
Sedangkan ayahku, beliau adalah tipe orang tua yang cuek. Dia hanya memastikan bahwa semua anggota keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa bersekolah. Namun bagaimanapun, beliau merupakan seorang pekerja keras. Beliau seringkali mengantar jemputku pergi ke kampus. Aku sangat berhutang budi padanya.
Kembali lagi ke masa terpurukku di masa kuliah. Saat memasuki semester 3, aku benar-benar merasa kesepian, bahkan menjadi lebih pendiam dan sakit-sakitan. Terhitung dalam 6 bulan sudah dua kali aku terkena demam tifus. Membuat perkuliahanku menjadi berantakan. Banyak mata kuliah yang harus aku ulang kembali di tahun ajaran depan. Namun aku harus tetap optimis bahwa aku bisa menyelesaikan jenjang pendidikanku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu, Aku Takut Menikah ✔
General Fiction[ Berdasarkan kisah nyata dari temannya author ] Danita (bukan nama asli), seorang wanita lajang berusia 26 tahun, harus berjuang seorang diri mengatasi INNER CHILD yang masih melekat kuat dalam kepribadiannya. Berbagai kecemasan dan kekhawatiran sa...