CHAPT 5 (end)

225 40 9
                                    

Melihat perhatian yang Wulan berikan seolah menambah secercah semangat hidupku. Mungkin dia adalah sahabat terbaik dalam hidupku. Yang dahulu senantiasa menemani masa kecil dan masa remajaku, meskipun di masa dewasa ini kami sibuk dengan urusan dan pekerjaan masing-masing.

Oh ya, setiap bulan Ramadhan datang, aku selalu mengikuti acara buka puasa bersama dengan teman-teman satu geng ku saat SMK. Kami berjumlah 6 orang yaitu Wulan, Yani, Epi, Enji, Vindy, dan aku. Kami selalu mengadakan acara berkumpul di kafe-kafe yang ada di pusat kota. Mereka semua adalah teman-teman tipeku, yang ceplas-ceplos apa adanya dan tidak sok suci.

4 orang dari mereka sudah menikah dan bahkan mempunyai anak. Mereka semua masih merasa heran melihatku yang sejak remaja tidak pernah melihatku berjalan bersama seorang pria ataupun mengunggah foto bersama seorang pria di media sosial pribadiku. Bahkan salah satu dari mereka mencurigaiku bahwa aku seorang aseksual, yang tidak tertarik dengan jenis kelamin apapun.

Aku hanya tertawa kecil, dan menanggapi semua itu dengan santai. Karna aku hanya berfokus mengurus hidupku sendiri dan menikmati kesendirianku. Namun, dalam benakku, aku juga mulai mencurigai diriku sendiri, bahwa aku seorang aseksual. Karna selama ini aku sangat sulit tertarik dengan siapapun. Lebih tepatnya, aku sulit untuk berkomitmen dan menganggap kehidupan pernikahan itu menyeramkan.

Dalam kehidupan pernikahan pastinya kita akan dihadapkan dengan perdebatan yang akan terjadi di kehidupan bersama pasangan kita nanti. Belum lagi dalam soal melahirkan dan mengurus anak, itu sangat tidak mudah dalam bayanganku. Aku takut gagal berumah tangga, aku takut gagal mendidik anak-anak yang keluar dari rahimku nanti.

Di alam bawah sadarku, aku tetaplah seorang wanita normal yang tertarik dengan lawan jenis. Namun hingga sekarang, aku masih belum tertarik untuk berkomitmen dengan lawan jenis. Aku masih saja selalu bersikap dingin dengan mereka. Bahkan pernah ada seorang pria yang mendekatiku saat aku bekerja magang di sebuah kafe sebagai waiters untuk mengisi libur panjang perkuliahanku. Dia adalah seorang koki atau juru masak di kafe tersebut.

Pria itu 7 tahun lebih tua dariku dan selalu bersikap baik kepadaku dengan membuatkanku makanan-makanan enak. Bahkan ia seringkali mengantarkanku pulang dari tempat kerjaku itu. Dia pernah menyatakan cinta kepadaku dan memintaku untuk mempertemukannya dengan orang tuaku. Namun, cintanya aku tolak saat itu juga. Aku belum bisa berkomitmen lebih jauh untuk itu, dan hubungan kita akhirnya merenggang begitu saja.

Di usiaku saat ini, yaitu 26 tahun, saat berkumpul di dalam pertemuan keluarga, otomatis para saudara dan kerabatku beramai-ramai menanyakan siapa calon suamiku. Aku menyeringai dan menggelengkan kepala pertanda memang belum ada seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku. Bahkan ada salah satu kerabatku yang menawarkanku untuk dicarikan jodoh olehnya. Aku hanya menjawab bahwa aku masih menikmati aktivitas keseharianku saat ini dan belum berencana untuk menikah dalam waktu dekat ini.

Saat suasana santai di rumah, kedua orang tuaku bahkan selalu menyinggung soal itu. Ayahku kadang berkata, "Bapak sudah setua ini tapi belum punya cucu. Kayanya seru ya ngajak cucu jalan-jalan."

Aku hanya menjawab, "Hah, ajak aja keponakan aku, kan banyak tuh. Sama aja kaya cucu, kan?"

Ibuku pun begitu, terkadang selalu menasihatiku agar segera mencari pasangan.

"Ta, cari jodoh sana. Mama waktu seumuran kamu udah gendong kamu kemana-mana loh. Dulu mama nikah umur 24 aja disebut ketuaan."

Aku tidak menanggapi nasihat itu dengan serius dan mempunyai argumen atas diriku sendiri, "Ma, jaman dulu sama jaman sekarang beda. Apalagi ini di kota, rata-rata cewek nikah itu umur 27 ke atas."

Ibuku menimpalinya, "Berarti umur 27 nanti kamu nikah ya?"

"Haduh, bukan gitu. Maksudnya 27 ke atas, bisa 28, 29, 30 dan seterusnya." jawabku.

Sampai saat ini belum ada bayangan tentang kehidupan pernikahan yang akan aku jalani nanti. Bahkan mencari calon pasangan hidup pun masih enggan. Aku masih belum siap, dengan semua kemungkinan yang akan terjadi nanti.

Hal yang paling menakutkan adalah, aku takut gagal berumah tangga, dan aku takut gagal mendidik anak. Seperti ibuku yang telah gagal mendidikku. Aku takut anakku akan mempunyai trauma yang tidak bisa aku atasi sebagai seorang ibu untuknya. Semuanya begitu mengerikan dalam bayanganku. Entah sampai kapan bayangan itu berhenti menghantuiku.

Ibu, aku takut menikah.

---------

Pesan dari author untuk Danita:

Danita, kamu wanita yang kuat. Kamu berhasil bertahan selama ini dengan semua trauma fisik dan psikis yang masih tertanam kuat di benakmu. Kamu bukan takut menikah, tapi hanya belum menemukan seseorang yang benar-benar kamu percaya untuk mendampingi hidupmu nanti. Bagaimanapun keputusanmu nanti untuk menikah atau tidak, aku akan tetap menghargaimu selama keputusan itu adalah yang terbaik bagimu. Semangat Danita! 💪✊

Pandangan author sebagai teman real life Danita :

Danita itu teman kuliah author, dia lahir di keluarga yang cukup taat beragama, tapi kedua orang tuanya mungkin belum begitu mengerti tentang cara memahami anak mereka. Mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang religius, tapi caranya aja yang salah. Danita juga termasuk orang yang rajin beribadah wajib yaitu shalat 5 waktu dan berpuasa Ramadhan seperti biasanya.

Orangnya pendiam tapi ceplas-ceplos, dia gak begitu suka basa-basi kalau gak perlu-perlu banget. Danita ngerasa nyaman di dekat orang-orang yang ceplas-ceplos juga dan gak begitu suka orang-orang yang sok high dan sok suci. Sebenarnya dia orangnya baik, tapi buat orang-orang yang baru kenal sama dia pasti akan menyangka kalau Danita itu orangnya sombong dan jutek, tapi kalau udah deket dia baik kok.

Jujur, aku dapet banyak pelajaran banget setelah dengerin semua curhatan dia. Ternyata tidak mudah untuk berjuang dengan inner child yang masih tertanam dalam memori otaknya. Dalam setiap kepribadian yang seseorang miliki ternyata ada pengalaman pahit yang disembunyikannya. Ditambah sampai sekarang orang tuanya masih menuntut dia buat jadi gadis muslimah yang anggun atau istilah jaman sekarang itu ukhty. Tapi Danita masih nyaman menjadi dirinya sendiri. Dan memang bagaimanapun kepribadian orang itu tentang bagaimana dia dibentuk dari awal, gak bisa dipaksakan.

We Love You Danita, jadilah yang terbaik untuk dirimu sendiri selama tidak merugikan orang lain.

-End- Terimakasih

Ibu, Aku Takut Menikah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang