CHAPT 2

185 39 22
                                    

Dalam hatiku mengeluh, "Mengapa aku harus menjadi seperti anak orang lain? Bagaimana caranya?"

Aku menjadi tidak percaya diri ketika menjadi diriku sendiri. Aku bingung, waktu itu aku belum cukup dewasa untuk menanggapi hal itu. Mengapa orang tuaku tidak pernah membanggakan diriku?

Sewaktu SD prestasiku lumayan bagus, meskipun hanya sering mendapat ranking 7 ke atas dalam 35 orang siswa. Di pendidikan madrasah pengajian pun aku termasuk santri yang pintar. Meskipun pembelajaran di madrasah pengajian itu hanya sampai lulus Sekolah Dasar. Masa-masa SD-ku lumayan indah. Meskipun tidak sepenuhnya suka, adapun dukanya.

Lulus dari bangku SD, kedua orang tuaku sangat menginginkanku untuk bersekolah mengenakan jilbab. Mereka terobsesi untuk mempunyai anak gadis yang anggun dan berkerudung.

Ibuku berkata, "Kamu SMP harus pake kerudung ya."

Aku menimpali, "Nanti aja lah ma, pas udah kelas 8 aja. Kelas 7 gak usah pake kerudung."

Ayahku menegaskan perintah ibuku, "Kalau gak mau pake kerudung, jangan lanjut ke SMP!"

Karna ancaman itu, aku hanya bisa menuruti perintah mereka. Aku juga bingung dengan dimana aku akan melanjutkan pendidikanku nanti. Aku meminta saran kepada ayahku tentang dimana sekolah yang banyak para siswanya yang berkerudung. Ayahku memberi saran untuk masuk ke salah satu MTs (Madrasah Tsanawiyah) terkemuka di Bandung. Tanpa berpikir panjang, aku menuruti saja apa sarannya.

Di data pendaftar siswa baru di MTs tersebut, hanya aku yang berasal dari tempat sekolah dasarku. Tidak ada satupun siswa pernah mengenaliku sebelumnya, benar-benar datang seorang diri di tengah orang-orang yang baru. Krisis kepercayaan diriku mulai kambuh lagi. Aku tidak tahu bagaimana cara memulai sebuah perkenalan, dan seringkali hanya duduk berdiam diri di bangku kelasku.

Perjalanan dari rumah ke sekolah dan sekolah ke rumahpun tidak mudah. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali demi menunggu mobil angkot dengan rute yang cukup langka di kotaku. Seringkali aku harus berebut tempat duduk dengan para penumpang lainnya yang sudah menunggu kedatangan mobil angkot tersebut. Sangat melelahkan untuk si kecil berusia 12 tahun sepertiku. Saking langkanya mobil angkot itu, aku terkadang aku harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk menuju ke sekolahku.

Semuanya memang tidak mudah, aku kembali menjadi Danita si pendiam. Teman-teman sekelas melihatku seperti orang yang aneh. Aku adalah siswa paling pendiam di kelasku. Hal itu memicu perundungan secara verbal, mulai dari beberapa temanku yang kerap kali berbisik-bisik bergibah mengenai diriku, hingga umpatan verbal secara langsung terhadap diriku. Padahal, aku sama sekali tidak tahu apa kesalahanku terhadap mereka.

Danita si pendiam ini benar-benar sudah tidak nyaman dengan situasi yang ada di kelasnya. Setiap sepulang sekolah, aku selalu mengeluarkan air mataku. Hingga aku memberanikan diri untuk menyampaikan segala keluh kesahku terhadap kedua orang tuaku.

"Ma, aku disana gak punya temen. Aku suka digosipin dan dikata-katain gak jelas. Aku pengen pindah sekolah, biarin sekolah MTs kecil yang di seberang jalan sana juga. Yang penting aku bisa pindah sekolah, aku udah gak nyaman."

Ibuku menimpali, "Kamu dari dulu emang susah bergaul, udah lah gak usah nangis. Lama-lama nanti juga pada akrab. Mama udah keluar banyak uang buat daftarin kamu di MTs itu, sekolah yang bener aja. Kalau kamu pindah sekolah nanti Mama harus keluar uang lagi dong."

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, rasanya seperti harus banyak menegak minuman pahit meskipun sebenarnya aku bisa mendapatkan minuman yang manis. Terpaksa aku harus menahan itu selama 3 tahun kedepan. Sudah lelah pulang pergi menuju sekolah dengan berebut tempat duduk di angkot yang langka, eh datang-datang malah dibully. Aku sangat stress hingga prestasi akademikku menurun.

Masuk kelas 8 dengan teman-teman yang baru, berharap perundungan itu tidak menimpa diriku lagi, ternyata harapan itu nihil. Perundungan terhadap diriku kian semakin parah. Tidak seperti di kelas 7 yang hanya mendapat perundungan verbal, kini aku juga mendapatkan perundungan secara fisik dari teman-teman sekelasku.

Ada beberapa siswi yang kerap kali menjahili meja dan kursi kelasku dengan menginjak-injaknya hingga kotor. Kursi kelasku pun terkadang didorong secara tiba-tiba ketika aku sedang duduk. Buku tulisku dicoret dan ditarik secara tiba-tiba hingga nyaris sobek. Setiap pekerjaan rumah (PR), ujian tengah semester (UTS ), maupun ujian akhir sekolah (UAS), beberapa teman sekelasku seringkali meminta paksa lembar kerjaku untuk mereka contek. Namun bukan air susu yang mereka balas, mereka malah seringkali mempermalukanku di depan orang banyak. Aku sangat benci mereka semua.

Perundungan verbal dan fisik ternyata belum cukup aku terima selama bersekolah disana, aku juga beberapa kali mengalami pelecehan seksual. Aku bukan termasuk siswi yang cantik, tubuhku juga masih nampak datar layaknya anak yang masa pubertasnya belum matang. Bila diingat tidak ada yang menarik dari penampilanku saat itu.

Masalah pakaian sudah tentu aku menutup rapat auratku dengan baju seragam kurung yang longgar lengkap dengan jilbab yang panjang hingga menutupi dada. Namun semua hal itu ternyata tidak menghindarkan aku dari pelecehan seksual. Beberapa siswa laki-laki disana pernah menjahiliku dengan memegang bagian pantatku. Dan tidak hanya sekali, terhitung aku mendapatkan perlakuan itu selama 3 kali.

Tidak hanya dari sesama siswa saja, aku pernah hampir dilecehkan guru olahragaku. Guru yang berpenampilan syar'i dengan janggut dan pakaian longgarnya, ditambah hampir semua omongannya selalu menyangkut pautkan dengan agama. Memang sangat aneh mengingat penampilan dibanding perilakunya.

Saat pelajaran menembak bola voli, aku tidak bisa melakukan pelajaran itu dengan baik. Kedua tangan kecilku memerah dan terasa sakit saat terus menembakkan bola voli ke udara. Melihat itu, guru olahragaku merasa kesal dan hendak menepuk pantatku. Dia memang punya kebiasaan itu terhadap semua siswa perempuan maupun laki-laki dengan dalih sebagai hukuman.

Aku langsung menghindari tepukan itu dengan sedikit berlari beberapa langkah, namun guru olahragaku tetap saja mengejarku. Hingga ia harus menendang pantatku dengan kakinya. Tidak ada satu orangpun siswa yang berani speak up tentang perilaku guru bejad itu. Semuanya merasa takut tidak akan mendapatkan nilai jika mereka melawannya. Media sosialpun belum marak seperti sekarang. Mulai dari saat itu, aku merasa trauma setiap mengikuti pelajaran olahraga. Aku selalu waspada supaya guru bejad itu tidak tiba-tiba mendekatiku dari belakang.

Tidak hanya semua itu, aku juga pernah dilecehkan oleh sesama murid perempuan.

Next Chapter 🔽

Ibu, Aku Takut Menikah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang