"Adakah satu hari terbaik yang membekas dalam hatimu?"
Sebaris kalimat itulah yang memulai segalanya. Aku tidak memiliki satu hari terbaik, sebaliknya aku memiliki enam puluh tujuh hari yang tidak bisa ditukarkan dengan apapun. Karena di sana ada bermacam-macam langit yang memahat cerah dan mendungku di Pulau Hanyut.
Di Negeri ini ada sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Buru, dijuluki pulau hanyut karena menurut legenda, pulau ini terpisah dari Malaysia dan terbawa arus hingga ke Indonesia.
Berbicara tentang hanyut, aku ingin berbagi sedikit kisahku yang "hanyut" di tanah tersebut. Mengembara jauh di tempat yang tidak disangka-sangka.
Sebelumnya aku akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Raihana Syika Dzafina, atau Lee Hana. Aku mahasiswa semester 5 yang tengah menjalani pendidikan setengah mati, di sebuah perguruan tinggi negeri ini. Sedikit informasi aku tidak memiliki ambisi, dan tidak suka berkompetensi.
Untuk apa berkompetensi? Setiap orang sudah diberikan porsi masing-masing oleh Tuhan. Tinggal berjuang sebisa mungkin, dan bersyukur atas apapun yang telah digariskan. Dibandingkan mengikuti isu sosial dan politik, aku lebih menyukai skandal kencan idol Kpop meskipun berakhir patah hati.
Aku tidak pernah mengikuti kata hati. Terlalu banyak keraguan yang menghambat langkah ini. Bahkan saat memutuskan untuk bersosialisasi, ada berbagai suara yang menghadang dan membuatku mendadak buta.
Manusia adalah sesuatu yang menakutkan. Bersosialisasi dengan mereka adalah sebuah bencana, dan mempercayai mereka adalah akhir dunia. Tetapi aku dilahirkan dari keluarga yang selalu hidup di dalam lingkar sosial. Jadi, apa yang harus kulakukan?
Dahulu aku tidak seperti ini, mendekam dalam kamar gelap dan sibuk dengan dunia sendiri. Entah mengapa semakin tumbuh dewasa, rasanya terlalu melelahkan untuk tersenyum. Apalagi ketika tersengat matahari tengah hari. Huft, begitu menyakitkan.
Tetapi semuanya berubah, hampir setengah tahun bermalas-malasan karena wabah menyerang negeri ini, tiba-tiba seorang dosen menawarkan kepada jurusan PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) angkatanku untuk mengikuti sebuah program pemerintah yang bernama KMP (Kampus Mengajar Perintis).
Program ini bertujuan untuk memberikan solusi bagi Sekolah Dasar yang terdampak pandemi dengan memberdayakan para mahasiwa yang berdomisili di sekitar wilayah sekolah untuk membantu para Guru dan Kepala Sekolah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di tengah pandemi COVID-19.
Tahu tidak apa yang pertama kali terlintas di kepalaku saat mendengar kabar ini? Yup, 50% mager, 30% pesimis, dan 20% tidak peduli. Untuk beberapa jam memang begitu, tetapi setelah diembel-embeli kesempatan lulus 3,5 tahun. Aku manusia yang tidak suka belajar ini, segera mendaftar dengan penuh percaya diri.
Setelah mengikuti seleksi yang panjang, dinyatakan lulus, dan mendapatkan pembekalan dari Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia). Seminggu kemudian aku meluncur ke sekolah tujuan bersama 5 mahasiswa lainnya. Tapi di mana kata "hanyut"-nya? Tentu saja ada.
Awalnya aku memilih sekolah dasar (SD) yang tidak jauh dari rumah nenekku. Tetapi 2 hari sebelum mengabdi, aku terpental ke sebuah pulau yang menginjakkan kaki ke sana saja tidak pernah. Setelah mengantongi restu orangtua yang berada di Korea, kemudian mendapatkan wejangan dari dinas pendidikan setempat. Aku dan 5 manusia 'terkutuk' yang menjadikanku ketua kelompok secara sepihak, akhirnya menyeberangi lautan dengan kapal kecil.
Saat itu gerimis, ombak bergulung-gulung membuat asam lambungku naik. Perjalanan memakan waktu 45 menit. Tapi, entah mengapa aku merasa 45 tahun sudah berjalan. Mungkin karena efek mabuk laut ini.
Sesampainya kapal berlabuh di pelabuhan Busung. Langkah kami terasa begitu ringan dan membara. Manakala di ujung sana sosok pria paruh baya yang terlihat sederhana menyambut kami dengan senyuman.
Awalnya kami tidak menyangka sosok tersebut adalah kepala SDN 009 Buru, dikarenakan pembawaannya yang santai dan tidak mengintimidasi. Auranya sebagai kepala sekolah pun tidak terlihat, namun itulah yang membuatnya istimewa. Pengenalan kami dengannya berlangsung singkat dan hangat. Di hari itu kami mengetahui bahwa beliau bernama bapak Asad Bakhtiar atau kerap disapa pak Herry. Unik, 'kan? Aku juga tidak tahu mengapa beliau dipanggil demikian.
Nah, hari itu adalah hari di mana aku mulai memahat langitku. Mungkin kamu bertanya-tanya, "Bagaimana Langit 67 Hariku di Pulau Hanyut?" Jawabannya sederhana, langitku tidak selalu cerah, adakalanya mendung dan turun hujan.
Lewat program KMP langitku tidak monoton lagi. Menanamkan dalam diri untuk menjadi sosok yang bermanfaat dan memberdayakan seluruh ilmu pengetahuan yang masih minim ini. Aku dan teman-teman seperjuangan lainnya, membantu seluruh keluarga SDN 009 Buru melaksanakan kegiatan pembelajaran di tengah pandemi COVID-19. Mendapatkan pengalaman mengajar, bertemu dengan orang baru, menjelajahi objek wisata, dan mempelajari kehidupan yang ada di Buru, bahkan jatuh cinta.
Tidak terduga, 'kan? Di mana seorang gadis yang tidak memiliki ambisi dan malas berkompetensi, kini berada di titik ini dan mendapatkan langit terbaiknya. Rasa malas dan keinginan untuk bersantai memang selalu ada dalam diri setiap manusia. Namun itu hanya untuk orang bermental gagal.
Awalnya aku memang pecundang. Tetapi semakin ke sini pikiranku terbuka bahwasanya orang yang sukses, akan selalu bisa melihat peluang dan menciptakan ambisi dalam dirinya untuk meraih suatu tujuan tertentu. Setelah dipikir-pikir, embel-embel lulus 3,5 tahun itu hanyalah penyemangat kecil. Nyatanya penyemangat paling besar itu terdapat pada dirimu sendiri.
Dalam hidup ini kita akan mengalami masa pasang surut yang tak terduga-duga. Hari ini kita bisa begitu bersemangat akan sesuatu, namun keesokan harinya kita bahkan malas bangun dari tempat tidur. Makanya perlu ambisi untuk dikejar, beranikan dirimu untuk keluar dari zona nyaman.
Kalau tidak, sampai kapanpun yang kamu lihat hanyalah langit-langit kamarmu. Tentu tidak seru, 'kan? Apalagi bila ada seseorang bertanya; bagaimana langitmu setahun belakangan ini?
Jika manusia diibaratkan bintang, maka kehidupan adalah langitnya. Seperti yang dikatakan José Martí, seorang penyair dan penulis asal Kuba, "Manusia itu bagaikan bintang di langit; beberapa di antaranya memancarkan cahaya sendiri, sementara yang lain memantulkan cahaya yang mereka terima."
Aku pribadi ingin menjadi bintang yang bercahaya sendiri tanpa ada sosok lain yang mengambil alih sinarku. Karena aku tidak akan membiarkan seseorang merebut apa yang telah kurintis mati-matian hingga sampai ke titik ini. Bisa dibilang mimpiku sekarang adalah mempertahankan apa yang memang menjadi milikku, dan menjaga agar langitku tidak runtuh kembali.
Lantas, bagaimana denganmu? Kamu ingin menjadi langit seperti apa? Langit yang memiliki bintang bercahaya sendiri atau memantulkan cahaya dari orang lain?
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
General FictionDalam 67 hari mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam terkait pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Hana, Lucky, Tsana, Bella, Luciana, dan Miranda. Enam sekawan d...