Kali ini kapal melaju lebih cepat daripada sebelumnya. Mungkin beda merk, beda juga kualitasnya. Sekitar 20 menit memangkas jarak, kapal kecil yang kutumpangi itu menyandar di dermaga. Dengan menggendong keril kesayanganku, juga menenteng dua tas jinjing cukup besar berisi makanan dan jajanan ringan. Aku berdiri di luar pelabuhan, tepatnya di sebelah pohon mangga yang tumbuh di tepi jalan.
Sambil menunggu jemputan, mataku tak sengaja menangkap pemandangan bangunan sekolah menengah pertama yang terlihat sepi dan bersemak. Beralih ke bangunan sebelahnya, air mukaku terlihat serius melihat masjid dengan ciri khas warna kuningnya, Masjid Raja Haji Abdul Ghani.
Menurut catatan sejarah, masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Kabupaten Karimun dan tertua kedua di Provinsi Kepulauan Riau, setelah Masjid Penyengat di Tanjungpinang.
Masjid ini dibangun di pertengahan abad ke-19, atau pada masa kerajaan Riau-Lingga. Dinamakan sesuai dengan nama raja yang membangunnya kala itu, Raja Abdul Ghani bin Raja Idris bin Raja Haji Fisabilillah.
Kuamati gerbangnya yang tampak mengagumkan. Kubahnya pun disanggah dengan empat tiang yang tingginya sekitar lima meter. Bahkan kekokohan dinding masjid ini bukan berasal dari semen, melainkan kuning telur. Tak jauh dari sana terdapat sebuah klenteng. Sepintas arsitektur masjid ini mencirikan kekhasan negeri tirai bambu.
Selain bentuknya yang khas, letaknya yang persis di tepi laut, membuat masjid ini menjadi pemandangan khusus mata bahariwan ketika melaut. Tidak heran, menjadikannya sebagai salah satu peninggalan sejarah paling terkenal di Kepulauan Riau.
Sudah sekitar 15 menit berada di sini, namun belum ada tanda-tanda Miranda datang menjemputku. Karena sedikit kepanasan dan kelelahan, aku pun berjongkok seperti tunawisma, dan menjadi ajang tanda tanya orang lalu-lalang. Untunglah wajahku tertutup masker, sehingga tidak terlalu malu dalam keadaan gembel seperti ini.
Aku mencoba menelepon Miranda, dengan maksud mengabarkannya bahwa aku sudah sampai di pelabuhan, dan menunggunya menjemputku.
"Assalamu'alaikum, Mir. Aku udah di pelabuhan nih. Kamu di mana? Udah otw ?" tanyaku langsung tanpa basa-basi, ketika panggilan kami terhubung.
"Wa'alaikumsallam ...." Suaranya terdengar serak menjawab salamku, detik kemudian melengking kuat, "Haaa?! Sudah sampai?!"
Aku mengernyitkan kening dan timbul rasa curiga, "Iya nih. Kok kaget gitu sih?"
"Aku ketiduran!"
Sesuatu mencelos dalam dadaku. Ketiduran? Mungkin Miranda tidak sengaja tidur akibat kelelahan menunggu telepon dariku.
"Tenang, aku jemput kamu sekarang! Tunggu di luar, jangan ke mana-mana," seru Miranda tergesa-gesa.
Dapat kudengar nafasnya memburu sebelum telepon itu dimatikan secara sepihak olehnya. Dan setelahnya aku hanya tertawa geli. Karena harus kembali menunggu di tepi jalan, bak seorang tunawisma bersama barang pungutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
Fiksi UmumDalam 67 hari mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam terkait pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Hana, Lucky, Tsana, Bella, Luciana, dan Miranda. Enam sekawan d...