Terdengar adzan Subuh berkumandang dari gawaiku. Sayup-sayup terdengar juga panggilan merdu tersebut dari masjid yang tak jauh dari rumah yang kami tempati. Aku terbangun dari tidur, mengumpulkan nyawa sedikit demi sedikit. Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar bunyi guyuran air dari kamar mandi.
"Siapa yang mandi subuh-subuh begini?"
Kuedarkan mataku ke sekeliling kamar yang temaram. Kemudian mendapati Bella dan Luci yang masih terlelap. Beralih ke sisi kananku, kosong, dan kuyakini bahwa Tsana tengah menguasai toilet subuh ini. Sambil terkantuk-kantuk menunggunya keluar dari sana, tak lama pintu terbuka.
"Udah wudunya?" tanyaku sedikit melek, Tsana yang jangkung itu menjawabnya dengan anggukan.
"Kalau begitu aku pula, ya,"
Aku pun beranjak dari tikar anyam yang menjadi alas tidurku semalam ini. Tanpa menimbulkan suara, aku berjalan menuju kamar mandi dan segera berwudhu sebelum melaksanakan salat subuh. Setelah bermunajat kepada Allah, lalu melangitkan doa-doa yang tak pernah jenuh kupinta. Aku pun segera melipat mukenahku dan kembali ke kamar. Di sana aku mendapati Bella dan Luci yang masih tidur dengan nyenyak.
Sebelum tidur malam, mereka berpesan untuk tidak usah dibangunkan salat subuh. Sebab keduanya sedang mendapat tamu bulanan. Bisa-bisanya kompak begitu. Tapi serius, aku pernah membaca suatu artikel yang berbunyi; semakin erat hubungan persahabatan, semakin berdekatan pula tanggal tamu bulannya.
Aku tidak tahu ini fakta atau mitos. Tetapi mengingat Bella dan Luci adalah teman sejak SMA. Mungkin saja itu terjadi, kan?
"Kamu tidur lagi, Tsan?" tanyaku pada Tsana yang tengah berbaring di samping Bella, "Bukannya habis subuh, nggak boleh tidur?"
"Sebenarnya nggak tidur lagi sih, Han. Tapi nggak tau kenapa kalau udah baring sebentar, pasti langsung mengantuk," jelas Tsana, "Kalau kamu sehabis salat subuh ngapain?"
"Mengaji. Menurut penelitian mengaji di waktu Maghrib dan Subuh dapat meningkatkan kecerdasan otak 80% loh,"
"Sama dong," sahut Tsana, "Selain itu kamu ngapain lagi?"
"Nonton drama Korea,"
Tsana terkekeh geli, "Sehabis tobat, kemudian bermaksiat lagi? Aku pernah nonton kajian di OurTube. Kalau K-Pop dan K-drama itu merusak akidah,"
"Hehehe,"
Aku cuma merespon singkat dan seadanya. Tidak ingin berdebat atau merasa paling benar di sini. Setidaknya ia sudah menasihatiku dengan cara yang baik. Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah artikel di internet yang menjelaskan bahwa imperealisme budaya seperti itu memang dapat mendekonstruksi akidah.
Hal ini didukung dengan firman Allah dalam QS. An-Nissa Ayat 138 - 140, "Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah."
Menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan lafadz "auliya'" itu bermakna penolong, kekasih, teman akrab, pemimpin dan idola. Adanya rasa simpatik dan empatik dalam hati karena menjadikan penolong, kekasih, teman akrab, pemimpin dan idola ghairul muslim, bisa menyebabkan lunturnya iman seseorang dan bisa mengkonversi dari mukmin menjadi munafik. Kelompok munafik adalah sejelek-jeleknya umat. Mereka lebih hina daripada orang kafir. Siksaan bagi munafikin-pun lebih pedih, bahkan mereka ditaruh di dasar neraka (inna al-munaafiqina fi al-darki al-asfal mi al-naar).
Mengerikan memang. Namun bagaimanapun aku tidak bisa sembarang menghakimi orang-orang yang menyukai budaya Korea ataupun produk hegomoni Barat. Sejujurnya topik ini memang kontradktif. Tidak semua penggemar mencintai sesuatu secara berlebihan, dan meninggalkan ibadahnya. Pada dasarnya kesukaan mereka ini, lebih bersifat sosial dan pragmatis. Lantas, bukan berarti harus disalahkan ataupun disisihkan dengan sejumlah nilai yang diyakini secara sepihak. Biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
General FictionDalam 67 hari mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam terkait pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Hana, Lucky, Tsana, Bella, Luciana, dan Miranda. Enam sekawan d...