Semua berawal ketika aku duduk di sofa di sebuah ruangan besar sesak penuh dokumen. Ruangan bercat kuning gelap menyapu mataku, sesekali angin masuk lewat jendela dan menggoyang-goyangkan tirai berwarna senada.
Sofa biru yang kududuk, tiba-tiba terasa begitu panas. Gugup setengah mati, kulirik rekan-rekanku di sofa biru panjang seberang tak jauh dariku. Mereka kompak mengisyaratkan ku untuk menjadi juru bicara.
Ketika lidahku hendak berujar hajat kemari, tiba-tiba dobrakan kecil di pintu mengalihkan atensi kami semua.
"Selamat pagi." Nafasnya terengah-engah, "Maaf saya terlambat,"
Dapat kulihat pak Tri tersenyum di balik masker kainnya yang berwarna hijau lumut, "Tidak apa-apa, silahkan masuk."
Aku terdiam. Bagai dihipnotis beberapa detik, kedatangannya membuat nafasku terhenti sesaat. Pandangan mata kami tidak sengaja beradu, iris gelapku bersuara menyuruhnya segera duduk. Dia mengerti isyarat itu, mengangguk kecil, dan mengambil posisi duduk di sofa persis di hadapanku.
Semua sudah berada di sini, satu persatu dari kami mulai memperkenalkan diri.
"Jadi, kalian berlima dari Universitas yang sama?" tanya Pak Tri, setelah masing-masing dari kami mulai memperkenalkan diri.
"Benar, kecuali laki-laki itu," jawabku sopan, sambil menunjuk sosok pemuda yang baru datang dengan kedua telapak tanganku.
Fokus pak Tri beralih pada pemuda berkemeja kotak-kotak itu. Dia bertanya sambil tersenyum ramah, "Bagaimana denganmu? Kamu berasal dari kampus lain ya?"
"Iya, pak." Dia langsung mengambil surat tugas dari kampusnya, dan menyerahkannya pada pak Tri.
Sekitar beberapa menit berbincang-bincang, dan memberikan wejangan kepada kami. Akhirnya kami pamit undur diri, untuk melanjutkan perjalanan lagi. Sebelum berpisah dengan pak Tri, kami mengabadikan momen dengan mengambil foto bersama.
"Semoga sukses pengabdiannya, anak-anak. Karena apa yang kalian lakukan ini, selain berguna untuk nusa dan bangsa; juga berpahala," pesan beliau sesaat selesai berswafoto. Kami mengangukkan kepala tanda mengerti ucapannya.
"Jadi gimana? Udah ada balasan dari pak kepala sekolah tujuan?" tanyaku pada Miranda yang kusuruh mengabarkan pada pak Herry, bahwa ba'da Zuhur kami bertandang ke pulau Buru.
"Belum dibalas, nih," Miranda menunjukkan centang satu di pesan pak Herry, yang artinya memang belum dibaca olehnya.
Saat ini kami tengah berada di pelataran gedung dinas pendidikan. Berdiri membentuk lingkaran, dan berdiskusi sejenak terkait kegiatan selanjutnya.
"Kapal ke Buru jam 1 siang, 'kan?" Aku memastikan, disambut anggukan Tsana, gadis bercadar itu.
"Okay. Karena masih lama, kita pulang ke rumah masing-masing dulu. Sekitar jam 12 lewat, setelah salat Zuhur baru otw ke pelabuhan. Gimana?" Aku memberi saran.
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
General FictionDalam 67 hari mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam terkait pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Hana, Lucky, Tsana, Bella, Luciana, dan Miranda. Enam sekawan d...