CP : BAB 10

658 99 105
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Park Jiyeon mendesah untuk yang kesekian kali, nampak bersandar enggan pada kepala ranjang. Pakaiannya telah berganti dengan piyama yang lebih hangat, bahkan selimut tebal sekarang menyelimuti tubuhnya. Berada dalam hujan deras selama beberapa menit saja sudah membuatnya hampir membeku, ditambah pusing yang mendera kepala.

"Kau baik-baik saja?"

Inna datang membawa satu gelas susu hangat. Meletakkannya di nakas, memberi gestur agar Jiyeon segera meminumnya. Tak ingin membantah, Jiyeon sontak meneguk susu itu sampai tandas. Membasahi kerongkongannya hingga sensasi hangat dan manis menjalar.

"Aku hanya sedikit pusing," bisik Jiyeon melemah. Segera meletakkan gelas pada nakas.

"Tidak mau menjelaskan apa yang terjadi?" tanya Inna duduk pada kursi belajar, menghadap Jiyeon yang saat ini bersandar gusar. Menanti dengan sabar frasa penjelasan yang akan Jiyeon layangkan.

"Kalian bertengkar hingga melukai satu sama lain?" Bukan tanpa alasan Inna mengatakan hal seperti itu, mengingat jika Eunwoo rela menunggu Jiyeon di luar selama delapan jam dengan wajah babak belur.

Mereka pasti bertengkar hebat, dan tengah mengalami satu masalah.

"Tidak seperti itu," cicit Jiyeon mengelus sudut gelas pada genggaman tangan.

"Yeri menjebakku, dan Eunwoo membelanya. Aku sedang marah padanya sekarang," bisik Jiyeon pelan. Jemari lentiknya sekarang beralih mengetuk gelas, menghela napas sejenak saat kembali mengingat pertengkaran mereka. Tidak seharusnya Jiyeon bersikap egois, jika ia lebih bijak dan bertemu dengan Eunwoo maka pria itu tidak akan menunggunya seperti itu.

Jiyeon merasa bersalah.

"Menjebak bagaimana?" Inna tentu bingung, karena selama ini walaupun Yeri terkesan tidak menyukai Jiyeon, dia tidak pernah bergerak sejauh itu.

"Dia menyukai Eunwoo, dan dia berniat untuk merebutnya dariku."

Jiyeon memang segamblang itu pada Inna, tak jarang bahkan ia sering menceritakan masalahnya dengan Eunwoo. Tidak ada rahasia sama sekali, ia telah menganggap Inna sebagai ibunya.

"Apa?" Inna menutup mulutnya tak percaya.

Jiyeon meringis.

"Dia sepertinya sangat membenciku hingga apa pun yang aku miliki harus dimilikinya. Memangnya aku salah, bibi?" Suara Jiyeon memelan, terdengar lirih pada pendengaran. Jujur saja, ia tidak suka harus berselisih paham seperti itu dengan Yeri. Hanya saja, Yeri yang terlebih dahulu mengibarkan bendera perperangan terhadapnya. Andai saja Yeri menjadi sepupu yang baik di masa lalu, mungkin mereka bisa berteman sampai sekarang.

"Dia iri padamu, makanya dia ingin merebut semua yang kau miliki." Inna menghela napas, memutuskan bangkit untuk menghampiri Jiyeon. Beralih mengelus bahu keponakannya yang bergetar, pertanda jika tangisan akan segera mengudara.

Comely PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang