Aku memesan secangkir latte panas di kedai kopi favorit kita. Duduk di sudut ruang dengan pemandangan jalanan kota yang ramai lancar. Di luar hujan, udara dingin ditambah dengan AC tempat ini yang menyala. Namun, ada yang lebih dingin dari pada itu. Kita. Meja kita masih hening sejak tiga puluh menit yang lalu. Tidak ada percakapan yang hadir sejak kita berdua duduk di sini. Aku memerhatikanmu, kamu bahkan tidak sedang menatapku.
Apakah benar, hari itu akan hadir? Hari di mana kamu sudah tidak merasakan getar hadirku di sisimu. Hari di mana, kau bahkan sudah tidak ingin aku berada di sisimu. Hari di mana, kau sudah tidak mencintaiku lagi. Jika sudah begini, mempertahankanmu akan jauh lebih sulit. Bukan aku yang sudah tidak ingin berjuang. Namun, urusan bertahan adalah tanggung jawab bersama. Sungguh, aku akan melepasmu jika kau ingin. Tetapi, aku mohon jangan sampai terjadi.
Aku bahkan masih mengingat jelas, film apa yang pertama kali kita tonton bersama, tiket konser yang kita beli, buku yang kamu pinjam, hingga gantungan kunci yang kamu berikan padaku. Jika hari ini benar-benar terjadi, sungguh dalam hatiku masih menginginkanmu. Jatuh cinta padamu adalah hal yang aku syukuri. Sungguh, aku mohon bertahanlah.
Namun, jika bertahan adalah pilihan yang berat untukmu, maka pergilah. Jika memang rasa itu sudah hilang, maka pergilah. Jika memang kau sudah menemukan seseorang yang membuatmu lebih nyaman, maka pergilah. Aku lebih baik membiarkanmu pergi, dari pada kamu bertahan, namun hatimu bukan milikku.
Aku berusaha membuka pembicaraan, aku tatap matamu perlahan. Memandangi kekosongan yang ada di dalamnnya. "Kamu maunya gimana?" Kataku. Tatapanmu berubah, kekosongan itu hilang, seperti tahu arah percakapan ini akan menuju kemana. Belum sempat kamu menjawab, aku melanjutkan kalimatku. "Dengar, kalau memang bukan aku orangnya, pergilah. Tidak penting sudah berapa lama hubungan ini, jangan hanya kau menyayangkannya lalu itu menjadi batu hambatan untukmu." Aku mengakhiri kalimatku, manis sekali. Padahal hati ini berteriak sangat keras, seakan kuat padahal sekarat. Munafik.
"Maaf. Tapi, rasa ini sudah hilang." Jawabmu dengan air mata yang turun dari bola mata hitam itu. Kau bahkan tidak perlu berkata seperti itu, aku sudah tahu. Sepertinya, hari itu akan tiba. Hari di mana, aku akan melepasmu. Kamu meninggalkanku sendirian di kedai kopi ini. Bersama ramai yang berubah menjadi sepi, bersama secangkir latte hangat,namun dengan hati yang beku. Aku tertawa pelan, berpikir takdir apa yang sedang aku jalani ini. Menertawakan skenario kejamnya semesta. Hari ini, aku dan kamu berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories about Letting You Go
Short Story"Jika melepasmu adalah yang kamu inginkan, maka akan kulakukan." Ini merupakan Kumpulan Cerita Pendek.