It's a Hard Way to be Apart With You

131 21 5
                                    


Malam ini sudah ku habiskan dua cangkir espresso. Jika lambung bisa bicara, mungkin keputusanku sudah dimaki-maki olehnya. Seperti biasa, aku nyalakan cerutu, sembari mengurut dahi. Menyesap cerutu dengan dua cangkir espresso adalah perpaduan yang sempurna untuk menyiksa diri. Udara dingin masuk melewati ventilasi. Jam sudah menunjukan pukul satu malam. Aku mengusap layar ponselku, mencari kontak namamu. Tertulis, "Pencinta kucing yang aku cinta, uwu!" Aku tersenyum melihat tampilan nama kontaknya. Bisa-bisanya ku namakan seperti ini. Aku merebahkan diri pada sofa, mencari posisi yang nyaman. Ku tekan tombol call pada layar.

"Iya, halo?" Suaramu terdengar dari ujung telepon.

Benarkah? Sedari siang, aku sudah coba meneleponmu sebanyak lima puluh tujuh kali dan malam ini pada percobaan ku yang ke lima puluh delapan kau mengangkat teleponnya. Sudah setengah putus asa aku mencobanya. Kamu menjadi lebih sulit dihubungi setelah perdebatan besar kemarin.

"Kalau nggak ada yang mau diomongin, akan ku tutup!" Suaramu memecah keheningan untuk kedua kalinya.

"Tunggu." Aku mengatur posisi duduk, menyimpan cerutu di asbak tua lalu meneguk sisa espresso sembari mengatur kata-kata yang akan ku ucapkan.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara malam. "Dengar. Mungkin ini akan menjadi permohonanku yang terakhir. Kalau kamu nggak keberatan, izinkan aku untuk bicara sebentar."

Kamu diam, dan aku pikir itu adalah tanda bahwa kau setuju.

"Baiklah. Izinkan aku bicara sebentar perihal kita. Tentang aku dan kamu yang sekarang sedang di ujung tanduk perpisahan. Sebelum nanti pada akhirnya berpisah, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu dengan sungguh. Kalau aku boleh jujur, kehilanganmu sebentar saja bisa membuatku sekacau ini. Entah nanti bagaimana jika kita akan benar-benar berpisah." Aku menarik nafas. Berat sekali. Seperti ada air mata yang menggumpal menjadi bongkahan batu besar yang sulit keluar. Sepertinya, kamu sudah menangis sedari tadi.

"Sebelum pada akhirnya kita benar-benar berpisah, aku hanya ingin kau tahu bahwa memori bersamamu adalah hal yang paling indah. Tentang kita yang sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Melihatmu tertawa adalah hal yang membuatku bahagia, terlebih alasanmu tertawa itu karena aku. Brengseknya, aku tidak bisa menjaga itu. Aku sudah menyumpahi diriku berkali-kali. Menyesalkan setiap detik kesalahan yang telah aku perbuat padamu. Apa pun keputusanmu nanti, aku hanya mau bilang bahwa aku ingin kamu kembali. Aku ingin kita memperbaiki ini, dan aku yakin kita mampu. Sekarang, keputusannya ada padamu. Apa pun itu, akan ku hargai. Entah nantinya kita berpisah dan tidak pernah bertemu atau nantinya kita berpisah dengan dendam yang ada pada hatimu. Aku siap. Semua keputusan ada padamu sekarang." Aku diam, membiarkan jeda yang menghakimi percakapan ini. Aku bisa mendengar suara tangismu. Kamu tidak bisa menahan tangis yang dari tadi terdengar. Sebaik apa pun kau menahan tangismu, sepertinya kesedihan yang hadir lebih besar. Kamu menutup teleponku, aku merebahkan badanku ke sofa. Sambil sesekali memejamkan mata. "Hal yang harus dipersiapkan setelah pertemuan adalah perpisahan. Brengseknya, aku tidak pernah menyadari itu." Gumamku perlahan sembari menutup mata.

Stories about Letting You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang