Pagi selanjutnya, Rani belanja di tukang sayur keliling bersama ibu-ibu yang lain. Ada pemandangan yang tak menyenangkan pagi itu, secara terang-terangan para tetangga saling berbisik. Meski tak tahu pasti apa yang tengah mereka bicarakan tapi Rani yakin, dialah topik utamanya karna sempat sekali ia dengar namanya disebut, sesaat sebelum nama Mayang turut disebut juga. Reflek Rani menoleh, menatap lurus ke arah mereka sembari mengulas senyum yang dipaksakan. Bu Yuni menghembuskan nafas kasar lalu mendekat ke arah Rani dan mulai menasehatinya.
"Jangan terlalu dekat dengan Mayang dan keluarganya Mbak !"
"Jangan temui mereka lagi ya, jangan sepelekan saran saya ini !" imbuh bu Yuni.
"Memangnya kenapa bu ?"
"Gak baik itu mbak, pokoknya saya merasakan hal yang tidak beres. Bukan cuma saya tapi semua ibu-ibu disini juga merasa begitu"
"Tolong jelaskan bu, apa Mayang pernah berbuat salah ?"
"Bukan soal salah tapi saya saja tidak yakin ada yang bernama Mayang disini ?"
"Hah ?!"
"Mungkin Mayang memiliki panggilan lain ?"
"Mungkin saja tapi sebaiknya dihindari"
Rani masih tak mengerti tapi bibirnya diam tak ingin mendebat lebih dalam lagi, khawatir jika hal itu dilakukan akan menimbulkan gesekan dengan para tetangganya. Meski begitu, batinnya menolak jika harus menjauhi Mayang karna bagaimanapun Keluarga Mayang memperlakukannya dengan baik. Rani lekas kembali ke rumah setelah membayar belanjaannya. Sekitar pukul sepuluh pagi, Mayang datang sembari membawa beberapa bahan untuk membuat kue basah.
"Untuk apa ini ?" tanya Rani.
"Ini bahan kue, ayo kita buat kue sama-sama untuk acara tasyakuranmu nanti malam !"
"Aduh kok jadi ngrepotin kamu sih ?"
"Gak repot kok"
Akhirnya Mayang dan Rani membuat kue bersama, tentu saja Mayang yang mengajari. Dia tampak lihai dan terampil. Rani hanya mengikuti setiap instruksi yang diberikan. Beberapa kue telah mereka buat, mulai dari donat, kue lumpur hingga kue bolu. Rani sangat senang siang itu, dia mendapatkan ilmu baru dan bersyukur memiliki tetangga sekaligus teman yang sangat gemar membantu. Sekitar pukul dua siang, Mayang berpamitan untuk pulang. Rani mengajaknya untuk makan terlebih dahulu namun Mayang menolaknya dengan sopan bahkan ia juga menolak ketika diminta membawa beberapa kue hasil masakan mereka, takut kurang katanya. Rani mengucapkan terimakasih berkali-kali dan berpesan agar Mayang datang lagi malam nanti. Mayang mengangguk lalu bertolak pulang kembali ke rumahnya. Satu jam kemudian Dika pulang. Dika memang sengaja pulang lebih awal karena ingin membantu mempersiapkan acara tasyakuran nanti malam.
"Kok udah banyak kue Yang, kamu beli sendiri ?" tanya Dika.
"Enggak, ini semua buatannya Mayang"
"Mayang , Mayang teman barumu itu ?"
"Iya, tadi dia kesini sambil bawa bahan kue dan ngajak aku bikin kue bareng. baik ya dia ?"
"Iya baik, alhamdulillah ada yang nyumbang kue jadi tinggal beli snack kering, buah dan air mineral"
"Iya, nasi kotaknya datang jam berapa ?"
"Jam empat atau maksimal setengah lima sore. Aku mandi bentar ya trus kita jalan cari buah" Rani mengangguk.
Rasti telah sampai di rumah ketika Dika menghidupkan mesin motornya. Dika sangat antusias, tentu saja karna dia berharap semua gangguan ghaib lekas lenyap setelah tasyukuran. Usai membeli buah dan lain-lain, Dika sempat membahas ulang mengenai Mayang. Dika merasa penasaran dan ingin tahu rupa gadis itu, selebihnya dia bersyukur karna ada orang baik yang membantu di acara tasyakurannya.
"Dimana sih rumahnya Mayang ?" tanya Dika.
"Itu disitu" ucap Rani sembari berdiri dan berjalan menuju pintu belakang.
Dika mengikutiku seraya menggeser ke kanan dan ke kiri kepalanya. Coba mencari rumah yang Rani tunjukkan tapi sepertinya dia mengalami kesulitan.
"Mana sih ?"
"Itu, rumah segede itu masak kamu gak lihat sih ?" Rani menggerutu.
"Yang aku lihat cuma kebun".
"Hemm, Rasti sini deh, sini bentar !".
Rasti mendekat, "Ada apa ?"
"Kamu bisa lihat rumah yang disana kan ?"
Rasti mengamati dalam diam sebelum memberikan jawaban seperti yang Dika katakan. Ternyata Rasti juga tidak bisa menemukan rumah Mayang.
"Masak kalian gak bisa lihat ?"
"Emang gak ada mbak" jawab Rasti enteng sembari membalikkan badan kembali ke ruang tengah.
"Kamu juga masih gak bisa nemuin rumahnya mas ?" Dika menggeleng seiring raut kesal mulai terlihat di wajah Rani.
"Udahlah bukan masalah besar. Karna dia sudah membantu kita, lain kali kamu kesana sambil bawa buah tangan ya, kasih ke mereka!"
"Iya, oh iya aku lupa"
"Apa ?"
"Tadi siang, aku lupa bertanya ke Mayang. Apa mungkin dia punya nama panggilan lain soalnya para tetangga tidak ada yang mengenalnya"
Dika membulat seketika. "Yang benar kamu ?"
"Iya"
"Yang mana sih rumahnya ?"
Sekali lagi Dika coba mencari namun nihil, tetap tak bisa ia temukan. Panik, itulah yang ia rasakan. Dia khawatir jika Mayang yang selalu menemui Rani bukanlah manusia. Tubuhnya tegang sementara Rani terus saja meyakinkan jika Mayang itu baik dan sangat gemar membantunya. Dika bingung harus menjawab apa, jujur muncul rasa takut jika harus meninggalkan Rani sendirian di rumah.
"Astaghfirulloh kenapa jadi gini sih, Mayang itu siapa ?" Dika bertanya-tanya dalam hati.
"Jangan bahas Mayang terus, ayo bersih-bersih rumah aja !" ajak Dika coba mengakhiri perbincangan mengenai Mayang.
"Aku harus menyelidiki siapa Mayang sebenarnya" benak Dika.
Sekitar pukul empat sore, para tetangga berdatangan. Dengan sukarela mereka membantu menata makanan, membersihkan rumah serta mengangkat sofa agar tikar dapat digelar. Tak sedikit juga tetangga yang membawa buah tangan seperti buah pisang dan beraneka ragam cemilan. Bahkan ada yang membuatkan puding dan es buah juga. Setelah adzan magrib acara dimulai. Para laki-laki duduk beralaskan tikar di ruang tamu hingga ke teras. Sedangkan para wanita berada di ruang tengah, ikut berdoa sembari bersiap menyajikan makanan.
Malam itu Mayang tak terlihat tapi bapaknya ada. Tengah duduk menunduk di salah satu sudut ruangan. Pikir Rani, ia akan memberikan sisa kue kepada bapaknya Mayang nanti. Dia bingung harus bagaimana berterimakasih. Acara kirim doa berjalan lancar sesuai harapan namun terjadi satu hal yang cukup menghebohkan malam itu. Tiba-tiba ustad Fikri menahan beberapa piring kue yang sedang disuguhkan.
"Maaf, tolong jangan dimakan itu, ini dan ini" seraya menunjuk deretan piring berisi kue buatan Mayang yang tak ayal membuat semua orang bertanya-tanya.
"Kenapa pak ustad ?"
Para tetangga mulai berbisik membuat suasana riuh seketika namun pak Ustad tak lekas memberi jawaban yang melegakan.
"Mohon maaf untuk mas Dika dan keluarga, tolong makanan-makanan ini dibuang ya !"
Dika menurut meski belum tahu persis apa yang terjadi tapi otaknya cepat menduga, ini pasti berkaitan dengan kecurigaannya terhadap Mayang.
SELESAI
Tunggu Kelanjutannya Ya dan Jangan Lupa Tinggalkan Jejak 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH NOMER 5 [END] Sdh TERBIT E-BOOK Nya.
KorkuBerawal dari mutasi kerja suami, membuat kami harus pindah ke desa Dlangu dan mengontrak rumah disana. Sejujurnya aku suka dan merasa nyaman dengan rumah tersebut tapi pertanyaan-pertanyaan tetangga seringkali meninggalkan tanda tanya besar di otakk...