BAB 9 - Rumah Nomer 5

149 17 2
                                    

Sekitar pukul sepuluh malam, Azka pamit pulang. Saat itu kondisi Rasti sudah jauh lebih baik, dia sudah kembali tenang dan tak menangis lagi. Rasti mengantarkan kekasihnya sampai ambang pintu lalu lekas menutupnya kembali. Azka berkendara santai seperti yang biasa ia lakukan. Udara cukup dingin namun tubuhnya sudah terbiasa dengan hal itu. Jalanan desa remang karna penerangan hanya berasal dari lampu rumah warga. Lampu jalan belum menjangkau seluruhnya. Tidak ada yang aneh hingga perlahan ia merasa punggungnya bergesekan dengan sesuatu.

Makin dirasakan makin terasa jelas, seolah ia tengah membonceng seseorang padahal jelas dia sendirian. Secara perlahan ia palingkan pandangan ke spion motor dan betapa terkejutnya ia karna ternyata ada sesosok pocong tengah duduk di boncengannya.
Azka terkejut tapi tak lantas membuatnya panik. Masih mencoba menenangkan diri meski
batinnya berdebat hebat, antara mempercayai atau menganggap itu hanya halusinasi.

Ditengah perdebatan itu, Azka putuskan untuk memberanikan diri menoleh ke belakang. Ternyata benar sesosok pocong duduk di boncengan motornya. Saat itulah dia panik dan lepas kendali. Azka terjatuh bersama motornya, tidak menabrak apapun, murni panik, oleng lalu terjatuh. Beruntung hanya luka ringan yang ia derita. Beberapa orang segera medekat, memberikan pertolongan dan meminggirkan motornya. Satu orang menanyakan keadaan Azka dan menelisik tentang bagaimana bisa ia terjatuh seperti itu

Tanpa basa-basi Azka menjawab bahwa ada pocong di boncengannya tadi. Jawabannya membuat semua orang terdiam. Ditengah suasana yang mulai hening, datang satu orang lagi yang menepuk pelan pundak Azka lalu berkata :

"Sudah, tidak ada apa-apa lagi sekarang. Hati-hati saat melanjutkan perjalanan nanti" Azka mengangguk.

Hanya sebentar Azka beristirahat karna menurutnya tak ada luka serius yang perlu dikhawatirkan. Azka mengucapkan terimakasih sebelum berpamitan untuk pulang. Benar yang dikatakan orang tadi. Setelah kecelakaan tunggal itu, sudah tak ada keganjilan apapun. Perjalanannya lancar sampai Azka tiba di rumah. Entah hanya sugesti baik semata atau memang Orang tadi melakukan sesuatu yang Azka tak tahu, yang jelas dia bersyukur tak ada lagi hantu yang mengikutinya.

Esok harinya, Rani, Dika dan Rasti benar-benar pergi ke alun-alun kota. Azka menyusul dan bergabung bersama mereka. Hari yang menyenangkan, semua tertawa bahagia. Keinginan Rani telah terpenuhi. Agenda selanjutnya adalah makan siang bersama di salah satu rumah makan yang masih berada dalam satu area dengan alun-alun. Perbincangan hangat dimulai sembari menunggu pesanan disiapkan dan saat itulah Azka menceritakan tentang pengalaman mistis yang ia alami semalam.

"Serius kamu ?" tanya Rasti.

"Seriuslah masak iya aku ngarang cerita"

"Trus apa kamu kapok main ke rumah ?"

"Enggak kok cuma... diganti siang aja ya kalau main kesana Hahha"

Jawaban Azka mengundang gelak tawa . Azka tak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia hanya menggoda Rasti saja. Memang menyeramkan apa yang ia alami semalam tapi tak membuatnya lantas trauma dan menolak berkunjung kembali. Azka memiliki penilaiannya sendiri, dia merasa bahwa memang ada yang salah dengan rumah yang disewa Dika. Mengingat semua cerita menyeramkan yang pernah Rasti ceritakan, jelas ada yang tak beres disana atau mungkin ada sesuatu yang sengaja disembunyikan mengenai sejarah rumah tersebut. Secara pribadi, Dika meminta bantuan Azka untuk mencarikan kyai atau siapapun yang bisa membasmi makhluk halus di rumah itu. Azka tidak berjanji tapi dia akan berusaha untuk mencari.

Azka diterima baik dalam keluarga Dika. Hubungan mereka makin dekat dan sesuai janjinya, Azka terus mencari informasi mengenai orang pintar yang mungkin bisa membantu Rasti dan kakaknya. Beberapa orang telah diajak kesana namun jawaban mereka tetap sama. Dengan sopan mereka katakan bahwa mereka tidak bisa mengusir semua makhluk yang ada disana dan saran yang mereka berikan adalah pindah rumah. Tentu saja saran itu tidak bisa Dika lakukan dalam waktu dekat. Dia sudah menyewa rumah itu untuk setahun tapi sekarang masih ia tempati selama tiga bulan lamanya. Dia membutuhkan waktu untuk mengumpulkan uang lagi jika ingin pindah kontrakan.

Baik Rani, Dika maupun Rasti berada dalam posisi yang sama. Mereka ingin cepat pergi tapi harus menguatkan diri bertahan dan yang paling memprihatinkan tentu saja Rani. Beberapa kali ia bercerita bahwa bu Ajeng datang lagi. Dika masih diam tak memberitahukan kenyataan yang sebenarnya. Dika hanya bertanya tentang apa yang bu Ajeng lakukan, berapa lama ia berkunjung dan kali ini tujuannya apa datang kesini.

"Katanya dia hanya ingin mengunjungiku saja"

"Apa yang kalian bicarakan ?"

"Aku gak begitu paham tapi bu Ajeng menyinggung soal kekayaan, martabat dan anak"

Dika memperbaiki posisi duduknya dan makin serius mendengarkan penjelasan istrinya.

"Apa maksudnya ?"

"Katanya gak lama lagi kita akan punya anak"

"Terus ?"

"Bu Ajeng sering berbicara dengan kata-kata yang sulit kucerna mas"

"Contohnya apa ?"

"Semua ada pertukarannya, disini takkan bisa mendapatkan semuanya. Mendapatkan sesuatu berarti mengorbankan sesuatu juga"

Dika mengerutkan dahi sembari menyandarkan punggungnya. "Apa maskudnya, apa dia ingin mengambil sesuatu dari kita ?"

"Kita tidak memiliki apapun mas, apa yang mau beliau ambil dan apa salah kita sampai beliau melakukan itu ?"

"Jangan biarkan dia masuk ke rumah kita lagi. Pura-pura saja tidak tahu kalau dia datang kesini !"

"Kenapa mas ?"

"Mas merasa dia memiliki niat jahat pada keluarga kita"

"Kami hanya mengobrol biasa, fikiran mas terlalu jauh, mas ini capek dan perlu..."

"Cukup Sayang !" suara Dika meninggi.

"Hemm maaf, tolong menurut saja ya !"

"Ada apa ?" Dika diam.

"Ada apa ? ayo katakan !" desak Rani.

Dika masih diam, menimbang pilihan antara berkata jujur atau membiarkan. Rani yang penasaran terus memaksa Dika agar berbicara hingga akhirnya Dika benar-benar menceritakan bahwa bu Ajeng yang menemui Rani bukanlah manusia. Dika bahkan menunjukkan rekaman cctv di hari-hari ketika bu Ajeng datang ke rumah. Disana jelas terlihat bahwa sosok bu Ajeng hanya berupa kabut putih halus tanpa rupa yang jelas. Tubuh Rani terhuyung lemas bersandar ke dinding kamar. Dua kali sudah ia mengalami hal serupa. Pertama sosok Mayang sekarang bu Ajeng. Rani menangkupkan tangan ke wajah dan menangis sesenggukan.

"Kenapa aku mas, apa salahku ?"

"Maaf maafin mas ya !" ucap Dika sembari memeluk isterinya.

"Bisakah kita pindah saja ?"

"Kamu tahu jawabannya, maaf !"

Tangis Rani makin terisak, Dika tak tahan melihat isterinya seperti itu. Sempat terlontar saran agar Rani dan Rasti kembali ke kota. Dika hanya ingin mereka bisa hidup dengan tenang meski hanya kost disana. Rani lekas menolak, dia hanya meminta agar diberikan waktu untuk meluapkan emosi dan setelah itu Rani berjanji, akan kuat kembali. Dika hanya bisa diam sembari mempererat dekapannya.

BAB 9 KELAR

Jangan Lupa Tinggalkan jejak setelah membaca Ya.

RUMAH NOMER 5 [END] Sdh TERBIT E-BOOK Nya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang