Lembar partitur itu telah menguning. Setahun tidak tersentuh oleh sang kulit. Menyeka detik hingga beku di dalam bilik lemari. Jake tak pernah menatapnya kembali, sama halnya dengan nasib sang Piano yang tertutup kain putih di sudut ruangan. Terbelenggu dalam hilangnya fungsi untuk memanjakan setiap rungu. Mungkin jika benda mati bisa menangis, Piano itu sudah menenggelamkan dunia karena setahun meredam pilu tanpa jeda.
Jay memutuskan untuk mendatangi kediaman Jake malam ini. Meski ia sebenarnya lebih suka bercokol di dalam studio miliknya pribadi. Jay adalah seorang komposer yang sudah banyak menjual lagunya kesana-kemari. Ia cukup sukses meski tidak terlihat demikian. Setidaknya jauh lebih berduit ketimbang Jake.
"Kenapa? Minta dicarikan pekerjaan lagi?" Tanya Jay.
Jake mengangguk sembari duduk bersimpuh di depan Jay. Rumah Jake memang lumayan besar. Bekas peninggalan orangtuanya dulu. Tapi barangnya sama sekali tidak ada. Sudah dia jual seenaknya untuk menyambung hidup. Hanya tersisa Piano yang menyedihkan itu di sana.
"Aku juga butuh uang. Kau bisa memperkerjakanku?" Tanya Jake langsung kepada intinya.
Jay memutar bola matanya malas. "Seriously Jake? Baru tiga bulan lalu aku memaksa pamanku memasukkanmu untuk bekerja di kantornya. Kau sudah keluar?"
Jake mengangguk. "Aku tidak cocok kerja di sana."
"Lalu menurutmu kau cocok hidup sebagai apa?"
Pertanyaan paling sulit yang belum bisa dijawab oleh si empunya. Jake tak pernah tau dia orang macam apa, bahkan ia tak tau apa yang benar-benar ia suka dan apa yang tak begitu ia suka. Dia membakar sumbu dan membiarkan cairan lilin meleleh tanpa tau apa warna dari lilin itu. Ia melangkah di kehidupan ini seolah sambil menutup mata.
"Kenapa kau tak kembali bermain piano?" Gurat wajah Jay sedikit berbeda dari biasanya. Ada sentuhan ragu setelah kalimat itu mengudara.
Jake terdiam. Kemudian menggeleng. Ia menatap sendu piano itu. "Aku tidak bisa, karena aku kehilangan alasan untuk memainkannya."
"Kau bisa membuat alasannya sendiri," balas Jay.
"Tidak bisa!" Nada suara Jake meninggi. Matanya memanas sambil menatap Jay.
Ini pembicaraan yang cukup sensitif. Tapi Jay sudah berancang-ancang untuk membawa Jake kembali kepada dirinya lama. Diri Jake yang menyukai deretan tuts dan dentingan melodi yang dihasilkan oleh benda tersebut. Jay ingin mengembalikan Jake yang berdiri dengan bangga di atas pentas—sambil memakai tuxedo yang berkilau diterpa lampu penyorot.
"Apa karena Sunghoon?"
Nama itu, berdengung kembali. Mendistraksi sanubari Jake untuk tercekut dalam memori lama yang tak pernah bisa dia bawa untuk saat ini. Seharusnya, nama itu tak usah disebutkan kembali. Pernapasan Jake selalu terganggu setiap kali ia mendengar seseorang menyebut nama Sunghoon.
"Ya. Karena Park Sunghoon."
Dengan suara bergetar, akhirnya Jake berkata jujur. Alasan mengapa dirinya berhenti menyukai Piano. Alasan mengapa benda megah itu hanya berdiam diri mengiringi waktu yang telah terlewati. Satu-satunya alasan untuk memulai dan berhenti—hanya Park Sunghoon. Temannya yang luar biasa. Terlalu luar biasa sampai jika diingat lagi, keberadaannya kini jadi menyakitkan.
"Jake tapi—"
"Ada yang dinamakan de capo." Potong Jake. "Sebuah istilah untuk mengungkapkan masa di mana lagu kembali pada posisi awal. Aku juga, berada pada posisi tersebut—tepat sebelum Sunghoon ada; di mana artinya, Piano juga belum ada di dalam hidupku."
Dia adalah alasan kenapa Piano itu berdenting. Dia satu-satunya yang bertepuk tangan seusai musik berhenti. Dia ada di sana, berdiri di antara semua orang berwajah datar. Dia berkata 'kau hebat' dengan tatapan mata yang menawan. Kemudian, Piano itu memutuskan untuk ber-alun hanya untuk orang itu saja. Artinya, jika ia tak ada—Piano tersebut akan memilih senyap.
a story
by
coonantDe Capo
coming soon
kemarin nazar, kalau jakehoon debut aku bikin ff mereka. dan terbitlah ini.
btw, seperti biasa—angst lagi.
gatau mau dilanjut kapan, yang penting publish aja dulu supaya nazarnya sudah terjalani(╥﹏╥)
KAMU SEDANG MEMBACA
de capo ✓
Fanfiction𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐢 𝐤𝐞 𝐭𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐚𝐰𝐚𝐥. 𝐌𝐞𝐬𝐤𝐢 𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐢𝐥𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐛𝐞𝐫𝐩𝐮𝐭𝐚𝐫, 𝐉𝐚𝐤𝐞 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐝𝐢𝐚𝐦 𝐝𝐢 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭. 𝐏𝐚𝐫𝐤 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐞𝐛𝐚𝐛𝐧𝐲𝐚. 𝐁�...