Dengan wajah yang penuh akan ketakutan, gadis itu berjalan tergesa memasuki sebuah bilik toilet. Terduduk disana dan berusaha mengatur napas yang memburu seperti baru saja dikejar hantu.
Tangan putih nan kurus yang sudah dipenuhi oleh keringat itu mulai merogoh saku jaketnya. Meraih sebuah bungkusan kecil yang baru saja dia beli. Menatapnya sendu, seakan dia sebenarnya tak menginginkan benda itu.
Bersama jantung yang kian berdetak tak karuan, Lisa mengeluarkan satu buah silet dari kemasannya. Memejamkan mata erat, sebelum akhirnya menyayat lengannya sendiri hingga terdarah.
Dia meringis kesakitan, namun dibarengi dengan tawa kecil yang mungkin akan terlihat menyeramkan. Lisa membutuhkan rasa sakit yang lain, agar rasa sakit di hatinya bisa tersamarkan.
Gadis itu masih selalu memegang teguh janjinya kepada sang kakak untuk tidak kembali meminum obat penenang. Tapi karena Lisa membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan tekanan yang ada di batinnya kini, dia memilih untuk menyakiti diri sendiri.
Bagaikan obat yang bereaksi, Lisa merasa menyakiti lengannya cukup membuahkan hasil. Rasa sakit dihatinya kini mulai terpendam, dan sepertinya Lisa akan memilih jalan ini untuk seterusnya.
"Geure, Lisa-ya. Kau bisa tenang sekarang." Gumam Lisa lirih. Mulai menyandarkan punggungnya pada dinding bilik toilet.
Perkataan Rosé beberapa jam lalu benar-benar memukul perasaan Lisa hingga hancur lebur. Tapi gadis berponi itu sadar, jika menjadi lemah sekarang ia akan berdampak buruk untuk kondisi kakak keduanya.
Maka dengan cara apa pun Lisa harus menahan rasa sakit yang terus menghujam batinnya. Dia ingin tetap tersenyum, seolah tak ada apa pun yang terjadi.
.........
Ada yang bilang, jangan mengambil keputusan saat sedang marah. Karena disaat itulah, kita tak bisa mengendalikan ucapan dengan baik. Semuanya tampak buruk, hingga akhirnya hanya ada rasa sesal.
Rosé berusaha tersenyum untuk Chanyeol yang ada di sampingnya. Namun memikirkan perkataannya sendiri pada sang adik tadi, mengapa Rosé merasa sakit? Seumur hidup, bahkan dia tak pernah marah sebesar itu pada Lisa.
"Apakah kue itu tak enak, Rosé-ya? Kau tampak tak menikmatinya." Ujar Chanyeol dengan raut khawatir sembari mengusap kepala sang kekasih.
"Aniya, rasanya sangat enak. Aku... Hanya sedang rindu dengan Eommonim." Ujar Rosé berbohong. Karena tak mungkin dia bilang jika sedang bertengkar dengan Lisa.
"Jeongmal? Kalau begitu, ayo ke rumahku? Eomma juga sudah merindukanmu."
Rosé menimang sejenak ajakan Chanyeol. Sebenarnya dia tak ingin meninggalkan Jennie. Tapi di sisi lain, dia sangat menghindari untuk bertemu Lisa. Walau merasa menyesal karena telah melontarkan kalimat menyakitkan untuk adiknya, Rosè masih tetap pada pendiriannya untuk marah.
"Baiklah. Aku akan pamit pada Jennie Unnie sebentar." Rosé berkata sembari meletakkan sekotak kue yang ada di tangannya ke pangkuan Chanyeol.
Mulai beranjak berdiri dan berjalan menuju kamar rawat Jennie. Sesampainya di dalam, dia hanya mendapati Jisoo yang menjaga kakak keduanya itu. Cukup bersyukur karena Lisa tak ada disana.
"Aku ingin pergi menemui Ibu Chanyeol Oppa sebentar, Unnie." Ucap Rosé meminta izin pada kedua kakaknya.
"Geure, pergilah. Kau sudah satu minggu berdiam di rumah sakit." Ucao Jisoo yang diangguki setuju oleh Jennie.
Diantara mereka, yang paling lama menemani Jennie adalah Lisa dan Rosé. Mereka hanya takut jika melepas Jennie dari pandangan, akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mémoire ✔
FanfictionTangis, canda, tawa, sepi, dan kebersamaan. Semua kenangan itu akan tersimpan di dalam kepala seseorang sampai dia mati. Tapi bagaimana, jika kenangan itu justru perlahan menghilang. Tak tersisa, bahkan satu detik pun. Terhapus oleh waktu yang begit...