Mémoire : 17. Promise

15.4K 1.8K 189
                                    

Beberapa jam lagi Jennie akan melakukan proses cuci darah. Namun sampai saat ini dia masih betah mendekap tubuh Lisa yang masih tak bertenaga. Entah kenapa, setiap saat dia selalu dibayang-bayangi oleh kondisi mengkhawatirkan Lisa kemarin malam.

Sungguh, rasanya amat sakit saat melihat adiknya seperti itu. Jennie lebih baik merasakan sakit di tubuhnya berkali-kali lipat dibandingkan harus menyaksikan adiknya yang sekarat. Itu akan lebih membunuhnya secara perlahan.

"Jangan seperti kemarin lagi, Lisa-ya. Kau membuat Unnie ketakutan." Ujar Jennie setelah lama terdiam bersama Lisa

"Hm, kemarin adalah yang terakhir." Jawab Lisa pelan. Karena jika dia berbicara terlalu keras, dadanya akan terasa sakit. Itu akibat dari resusitasi jantung paru yang dilakukan tenaga medis padanya kemarin malam.

"Kau tau, Lisa-ya. Unnie selalu berdoa kepada Tuhan. Unnie meminta agar Unnie tak pernah merasakan sakit atas kehilangan. Unnie berharap... Jika Tuhan membawa Unnie terlebih dahulu." Ungkap Jennie. Karena nyatanya saat ini dia sedang betsungguh-sungguh.

Di tinggal mati bukanlah hal sederhana yang bisa dapat dilupakan begitu saja. Akan ada rasa sakit yang terus membekas seumur hidup. Dan Jennie tak akan pernah mau merasakannya.

"Itu tandanya kau egois, Unnie." Sahut Lisa sembari menyamankan kepalanya di dada sang kakak.

"Hm. Unnie memang egois. Dan selamanya akan begitu. Unnie tak ingin, melihat kau atau yang lain dikubur terlebih dulu. Itu... Sangat menyakitkan." Ujar Jennie yang tak mendapatkan sahutan kembali dari Lisa.

"Dan sepertinya, Tuhan akan mengabulkannya." Lanjut Jennie dalam hati.

.........

Ada hal yang selalu Jisoo benci seumur hidupnya. Yaitu melihat adik-adiknya tersiksa. Dan itulah yang Jisoo rasakan saat ini. Berulang kali dia menemani Jennie melakukan proses cuci darah. Berulang kali pula dia tersakiti.

Melihat wajah Jennie yang berangsur pucat dan lemas, dan setelah proses itu selesai pun adiknya akan menerima berbagai efek tak menyenangkan. Jisoo benci, mengapa harus adiknya?

"Saat Lisa sembuh nanti bagaimana jika kita pergi ke Swiss?" pertanyaan itu Jennie lontarkan dengan suara lemas. Membuat Rosè dan Jisoo serentak menatap padanya.

"Unnie rindu Swiss? Padahal belum lama kita kesana." Sahut Rosé yang ada disisi kiri Jennie.

"Aniya. Hanya saja... Mungkin saja nanti aku tak bisa pergi ke sana lagi." Ujar Jennie sembari menatap langit-langit ruang hemodialysis itu dengan pandangan kosong.

Penyakit ini, rasanya Jennie sudah tak sanggup untuk menahannya lebih lama lagi. Dia sudah tak takut mati muda lagi. Karena sekarang kedua adiknya bisa meraih impian mereka tanpa bantuannya lagi.

"Apa yang kau bicarakan, Jennie?" tanya Jisoo dengan nada tak suka.

"Aku... Ingin kesana untuk terakhir kalinya."

"Tutup mulutmu. Jika kau bicara seperti itu lagi, aku akan sangat marah padamu." Sentak Jisoo dengan nada tinggi. Sedangkan Rosé sudah tampak ingin menangis dengan mata memerah. Membuat Jisoo semakin merasa marah karena Jennie tak hanya melukainya tapi juga adik mereka.

Setelah pembahasan yang sangat tak menyenangkan itu, kini mereka memilih diam. Tak ada suara sama sekali yang terlontar dari mulut ketiga Kim itu. Hingga pintu ruangan itu terbuka, menampakkan Dokter Song dengan jas putihnya.

"Bisa kita bicara sebentar, Jisoo-ya?"

Jisoo segera bangkit. Mengikuti langkah Dokter Song untuk keluar sati ruangan itu. Sampai dimana mereka memilih berhenti tak jauh dari ruangan dimana Rosé dan Jennie berada.

Mémoire ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang