Misunderstanding

3.2K 280 1
                                    

Begitu sampai rumah, Arven langsung merebahkan diri di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang sedang berkelana jauh entah ke mana. Dia teringat kejadian tadi, di mana dia bisa memandang Naila lagi setelah sekian tahun berlalu. Kerinduannya pada wanita yang dicintainya itu sedikit bisa terobati karena sudah melihat Naila dalam keadaan baik-baik saja.

Gemuruh dan debar kencang di dada masih saja Arven rasakan ketika memandangi Naila meskipun hanya dari jauh dan wanita itu tidak menyadari kehadirannya. Dia benar-benar masih sangat mencintai Naila. Tidak ingin menjadi orang munafik, sebenarnya Arven masih berharap bisa kembali bersama Naila andai saja apa yang dilakukannya dulu tidak begitu fatal. Namun, kenyataan tentang dia yang sudah menyakiti Naila begitu dalam, juga kekurangan yang ada pada dirinya sekarang membuatnya tidak percaya diri untuk bisa memiliki Naila. Apalagi dengan perubahan Naila sekarang ini, dia merasa semakin tak pantas. Dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Naila dalam soal agama. Meskipun sudah berusaha memperbaiki diri, tapi tetap saja dia kerap merasa rendah diri begitu ingat kelakuan hinanya dulu.

"Dengan kamu yang seperti ini saya semakin merasa berdosa karena pernah menyakiti kamu, Naila. Kamu wanita baik-baik. Sedangkan saya.... hanya manusia kotor."

Arven menghela napas seraya mengusap wajahnya kasar. Dia pun mencoba merelakan Naila karena wanita itu terlihat bahagia tanpanya. Naila sudah menemukan orang yang tepat sebagai penggantinya.

"Sampai saat ini saya masih mencintai kamu, Naila. Tapi saya akan mencoba merelakan kamu karena ini sudah jadi keputusan saya dulu untuk melepas kamu. Sehingga saya pun harus siap menanggung risiko kamu yang sudah bersama orang lain. Semoga kamu selalu bahagia Naila. Saya cinta kamu."

Betapa bahagianya Arven jika saja anak yang bersama Naila itu adalah anaknya. Juga dia yang ada di samping Naila, bukannya laki-laki itu. Namun, dia harus sadar kalau itu tidak mungkin terjadi. Karena biar bagaimanapun Naila sudah memiliki anak bersama laki-laki itu.

"Maafkan saya karena sempat mengecewakan kamu. Semoga suami kamu yang sekarang gak akan ngelakuin apa yang pernah saya lakukan ke kamu."

Jelas saja laki-laki itu tidak akan mengecewakan Naila karena Arven bisa melihat cinta yang besar dari tatapan matanya. Apalagi sepertinya suami Naila yang sekarang memang lebih baik darinya. Laki-laki itu tidak sebrengsek dia yang berulang kali telah menyakiti Naila.

"Semoga kamu selalu bahagia, Naila."

***

Keesokan paginya, Arven memulai aktivitas seperti biasa. Dengan mengendarai mobilnya dia menuju puskesmas yang jaraknya memang lumayan jauh. Tapi sebelum itu, dia sengaja singgah di warung yang beberapa hari lalu gagal dia kunjungi. Kebetulan sekali hari ini warung itu sudah buka.

Arven turun dari mobilnya dan melangkah ke warung itu. Dia pun mencoba memanggil sang penjual yang rupanya masih ada di dalam rumah. Warung itu tepat berada di depan rumah sang penjual sehingga kemungkinan masih terdengar saat ada yang memanggil.

"Permisi..."

"Sebentar."

Arven mengangguk saja meski tidak ada yang melihatnya. Dia membalikkan badan seraya meraih ponselnya yang ada di dalam saku celana. Dia hanya geleng-geleng kepala ketika mendapat pesan chat dari mamanya. Beruntungnya dia memiliki orang tua yang sangat perhatian dan mau memaafkan semua kesalahannya dulu.

Iya mamaku sayang. Mama gak usah mengkhawatirkan Arven. Arven sudah dewasa, Ma. Bukan anak kecil lagi.

Arven menekan tombol kirim setelah dia selesai mengetikkan kalimat itu. Pagi-pagi seperti ini mamanya sudah mengiriminya pesan agar tidak lupa sarapan dan lain-lain. Sungguh, kalau diperlakukan seperti ini Arven merasa seperti anak-anak saja.

Sweet AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang