Recognition

2.8K 275 0
                                    

Arven memutuskan pulang saat jam kerjanya telah usai. Dia pun memasuki mobil untuk segera menuju tempat tinggalnya yang sekarang. Bukannya langsung menjalankan mobil menuju rumah, dia malah berlalu ke arah rumah Naila. Entah mengapa dia ingin mendatangi rumah Naila dan melihat wanita itu meski hanya dari jauh.

Mobilnya sengaja Arven hentikan saat dia sudah tak jauh lagi dari rumah Naila. Dari sana dia masih bisa mengamati Naila yang sepertinya baru pulang kerja. Tangannya menyentuh dadanya yang bergemuruh hebat ketika melihat Naila tersenyum manis pada laki-laki itu. Sedangkan bersamanya dulu Naila malah sering bersedih. Sepertinya laki-laki itu memang tepat untuk Naila. Dia pun harus belajar merelakannya.

"Saya gak akan mengganggu kebahagiaan kamu, Naila. Rasa cinta ini akan saya simpan untuk kamu selamanya. Sampai nanti saya mati," tekad Arven. Dia hanya ingin mencintai Naila seorang meskipun wanita itu sudah bersama yang lain.

"Selamat menempuh hidup baru dan maaf kalau selama bersama saya kamu selalu menderita."

Arven segera menjalankan mobilnya berbalik arah menuju rumahnya. Mulai sekarang dia bertekad tidak akan berusaha menemui Naila lagi. Dia akan merelakan Naila meskipun akan sulit.

***

Naila tersenyum ketika melihat Adli mengajak Clarissa bercanda. Lelaki itu tahu betul bagaimana cara membuat Clarissa merasa tersenyum senang karena lelocunnya.

"Makasih, Papa..."

Naila terperangah mendengarnya. Matanya membulat saat mendengar anaknya memanggil Adli dengan sebutan papa. Sejak kapan? pikirnya. Padahal sebelumnya Clarissa masih memanggil Adli dengan sebutan Om.

"Sama-sama, Sayang."

Adli hanya tersenyum kecil pada Naila. Dia bisa melihat keterkejutan di wajah cantik ibu dari anak kecil yang ada di atas pangkuannya saat ini. Tadinya dia pun merasa kaget ketika tiba-tiba mendengar Clarissa memanggilnya dengan sebutan Papa saat di restoran. Dia pikir Naila yang meminta Clarissa memanggil seperti itu karena sudah mulai menerimanya. Tapi rupanya dia salah. Clarissa memanggilnya Papa gara-gara ulah managernya di restoran yang memprovokasi anak itu.

"Papa?" beo Naila penuh kebingungan. Dia menatap Adli dan Clarissa bergantian. Lalu dilihatnya Clarissa mengangguk polos.

"Huum. Kata Tante Ayu, Papa Adli bakal jadi Papa Rissa, Bunda. Makanya Tante Ayu nyuruh Rissa manggil Papa," sahutnya lugu.

"Memang Rissa mau jadi anak Papa Adli?" tanya Adli sekaligus memberi kode untuk Naila. Dia pun tersenyum senang begitu melihat Clarissa mengangguk antusias seraya berkata "Mauu!!!".

Wajah Naila memerah ketika melihat Adli mengedipkan mata padanya. Dia salah tingkah gara-gara Clarissa mengucapkan secara spontan kalau anaknya itu bersedia menerima Adli menjadi Papanya.

"Beneran 'kan, Bunda kalau Papa Adli bakal jadi Papanya Rissa? Biar Rissa bisa main sepuasnya sama Papa... Biar Papa juga tinggal di sini sama kita... Dan biar Rissa bisa punya Adek, Bunda. Rissa pengen punya Adek bayi...," ujar Rissa dengan wajah memelas.

"Kata Tante Ayu juga?" selidik Naila. Sebelumnya Rissa tak pernah seperti ini padanya kalau bukan ada yang mengatakannya pada sang anak. Anaknya masih terlalu kecil, sehingga saat diberitahu hal-hal seperti itu langsung ingin.

"Huum."

Naila menghela napasnya. Jujur saja perasaannya pada Adli biasa-biasa saja. Dia masih mencintai Arven meskipun tahu kalau mantan suaminya itu sudah bersama Aletta. Apalagi pertemuannya dengan Arven pagi tadi membuat hati Naila sedikit berharap pada mantan suaminya itu. Dia pun merasa penasaran dengan apa yang ingin Arven katakan pagi tadi sebelum diinterupsi oleh kedatangan Adli.

Sweet AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang