Be Accepted

2.6K 238 6
                                    

"Jadi apa yang mau kamu bicarakan sama Mas, Naila?" tanya Adli saat Naila sudah duduk di sofa yang ada di ruangan khusus miliknya. Tadinya dia sempat heran ketika Naila mengatakan ada yang perlu mereka bicarakan. Dia bertanya-tanya tentang apa yang ingin dibicarakan oleh Naila padanya. Hingga akhirnya dia meminta Naila ikut ke ruangannya.

Kening Adli mengkerut pertanda bingung begitu melihat Naila menghela napasnya. Lalu wanita itu pun menatap ke arahnya.

"Aku sudah membuat keputusan, Mas," lirih Naila pelan.

Pembicaraannya dengan Arven waktu itu sudah beberapa minggu berlalu. Awalnya dia sempat berpikir kalau Arven akan berubah pikiran dan memintanya kembali. Namun, lagi-lagi itu hanya harapannya semata yang tak akan pernah menjadi nyata. Arven benar-benar tidak menemuinya lagi. Laki-laki yang dia cintai itu sudah membuat jarak di antara mereka. Dia lelah menanti sesuatu yang rasanya tak pasti. Hingga akhirnya setelah melakukan shalat istikharah, di mengambil keputusan tentang apa yang akan dia lakukan ke depannya.

"Apa itu?"

"Aku... aku mau menikah sama Mas," ujar Naila pelan. Dia hanya bisa berharap kalau setelah menikah dengan Adli, dia bisa mulai mencintai laki-laki itu dan melupakan Arven. Karena sebelum menikah dengan Arven, dia pun tidak mencintai mantan suaminya itu. Apalagi rasa sayang Adli pada Clarissa sudah tidak bisa diragukan lagi.

"Kamu serius, Naila?" Adli merasa senang saat akhirnya penantiannya selama ini berujung. Rasanya dia sungguh bahagia ketika melihat Naila menganggukan kepalanya.

"Ini berita bahagia buat Mas, Naila. Terima kasih. Mas akan secepatnya melamar kamu secara resmi agar pernikahan kita bisa segera dilaksanakan."

"Iya, Mas."

***

Adli benar-benar tidak membuang waktu. Pada keesokan harinya dia memboyong orang tuanya untuk melamar Naila. Hingga akhirnya tanggal pernikahan pun sudah disepakati.

Clarissa terlihat sangat bahagia begitu tahu kalau sebentar lagi Adli menjadi Papanya sungguhan. Sementara Naila hanya tersenyum tipis dan berusaha mengikhlaskan pilihannya ini.

"Mas pulang dulu ya, Naila. Clarissa... Papa pulang dulu ya, Sayang," pamit Adli pada calon istri dan anaknya itu. Dia mengecup kening Clarissa sebelum akhirnya berpindah menyalami tangan Sekar.

"Makasih karena sudah mau menerima saya sebagai calon suami Naila, Bu."

"Sama-sama, Nak Adli."

Adli pun pamit meninggalkan rumah Naila. Setelah mobil Adli menghilang dari halaman rumah, mereka pun memutuskan masuk kembali ke rumah.

"Semoga ini pilihan yang tepat ya, Sayang..."

"Aamiin, Bu."

Sementara itu, mobil Arven parkir tak jauh dari rumah Naila. Dia bisa tahu kalau Naila sudah benar-benar menerima lamaran laki-laki itu. Dia pun mencoba tersenyum karena ini memang keinginannya. Dia ingin melihat Naila bahagia meski bukan bersamanya.

Sebagai laki-laki yang dulu memiliki stamina hebat di atas ranjang, Arven merasa minder ketika gairah seksualnya tiba-tiba lenyap. Dia tidak mungkin menikahi Naila dengan keadaannya yang seperti ini. Dia tak akan bisa memberikan nafkah batin untuk Naila. Maka dari itu dia lebih memilih mundur dan menyimpan keinginannya untuk bisa bersama Naila.

"Memang lebih baik kamu sama dia, Naila. Kamu gak akan pernah bahagia jika menikah lagi sama saya."

Kehilangan gairah seksual adalah hal yang mengerikan bagi seorang laki-laki karena tidak dapat membahagiakan wanitanya. Meskipun mungkin sang wanita akan menerimanya. Apalagi Naila, wanita itu begitu baik dan lembut hatinya. Arven yakin kalau Naila akan tetap menerima jika tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Hanya saja dia yang tidak ingin Naila tahu. Dia tidak ingin dikasihani.

Sweet AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang